BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Fundamentalisme
Istilah
fundamentalisme sangat erat kaitannya dengan agama. Beberapa pendapat
menyatakan Istilah ini bermula dari sebuahh buku berjudul “the
Fundamentals” pada tahun 1915 yang dalam isinya sangat berhubungan dengan
agama protertan. Berikut beberapa
pengertian fundamentalisme agama :
1. Dalam
wikepedia fundamentalisme adalah sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham atau agama yang berupaya untuk
kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fondasi)
2. Summers
(2006) mengartikan arti awal Fundamentalisme sebagai tujuan untuk mengembalikan
agama kepada bentuk dan prinsip asal muasalnya. Implikasi ini juga menyentuh
wilayah keimanan yang juga dianggap telah menyimpang dari konsep dasarnya
sehingga kehilangan hubungan dengan makna yang sesungguhnya suatu ajaran agama
3. Kuzzman
(2001) mensinonimkan Islam fundamentalis dengan bentuk Islam revivalis, yaitu
gerakan pemurnian Islam. Bagi para revivalis, Islam saat ini sudah banyak
dikotori oleh bid’ah-bid’ah dan penafsiran-penafsiran yang sama sekali keluar
dari al-Qur’an. Menurut mereka tiada hukum selain hukum Tuhan. Gerakan
revivalis pun menolak adat dan mereka hanya ingin menerima Islam secara murni.
B. Fundamentalisme
dalam Agama Islam
Istilah
'ushuliyah' (fundamentalisme) dengan makna yang populer dalam dunia media massa
tersebut, adalah berasal dari Barat, dan berisikan pengertian dengan tipologi
Barat pula. Sementara, istilah 'ushuliyah' dalam bahasa Arab dan dalam wacana
pemikiran Islam, mempunyai pengertian-pengertian lain yang berbeda dengan apa
yang dipahami oleh wacana pemikiran Barat yang saat ini dipergunakan oleh
banyak orang.
Perbedaan
pemahaman dan substansi dalam mempergunakan istilah yang sama, merupakan
sesuatu yang sering terjadi dalam banyak istilah yang dipergunakan oleh bangsa Arab
dan kaum muslimin, serta secara bersamaan dipergunakan pula oleh karangan
Barat, padahal keduanya mempunyai pengertian yang berbeda dalam melihat istilah
yang sama itu. Hal ini banyak menimbulkan kesalahpahaman dan kekeliruan dalam
kehidupan budaya, politik, dan media massa kontemporer yang padanya
perangkat-perangkat komunikasi mencampuradukkan berbagai istilah yang banyak,
yang sama istilahnya, namun berbeda-beda pengertian, latar belakang dan
pengaruhnya
Dalam visi Arab dan dalam wacana
pemikiran Islam, kita tidak menemukan dalam kamus-kamus lama, baik kamus bahasa
maupun kamus istilah, disebutnya istilah ushuliyah "fundamentalisme".
Kita hanya menemukan kata dasar istilah itu yaitu al-ashlu dengan makna 'dasar
sesuatu' dan 'kehormatan'. Bentuk pluralnya adalah ushul (QS Al-Hasyr : 5)
(Ash-Shaaffat :64). Al-ashlu juga bermakna 'akar' (QS Ibrahim : 24).
Al-ashlu juga disebut bagi
undang-undang atau kaidah yang berkaitan dengan furu' (parsial-parsial) dan
masa yang telah lalu. Seperti yang diungkapkan dalam rediaksional ulama ushul
fikih, "Asal segala sesuatu adalah boleh atau suci." Dan,
"ushul" adalah prinsip-prinsip yang telah disepakati atau diterima.
Bagi ulama ushul fikih, kata
al-ashlu disebut dengan beberapa makna. Pertama, 'dalil'. Dikatakan bahwa asal
masalah ini adalah Al-Kitab dan Sunnah. Kedua, 'kaidah umum'. Dan ketiga, 'yang
rajih' atau 'yang paling kuat' dan 'yang paling utama'. (Lihat kitab Lisanul
Arab, Ibnu Manzhur, Kairo : Darul Ma'arif)
Dalam peradaban Islam telah
terbangun ilmu-ilmu ushuluddin, yaitu ilmu kalam, tauhid, dan ilmu fikih akbar.
Juga ilmu ushul fikih, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah dan
kajian-kajian yang dipergunakan untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan
hukum-hukum syara' praktekal dari dalil-dalil perinciannya. Serta ilmu ushul
hadits atau mushthalah hadits.
Demikianlah warisan keilmuan Islam
dan peradabannya, serta kamus-kamus bahasa Arab yang tidak mengenal istilah
ushuliyah (fundamentalisme) dan pengertian-pengertian yang dikenal Barat atas
istilah ini.
Hingga dalam pemikiran Islam
kontemporer yang sebagian ulamanya menggunakan istilah ushuliyah dalam
kajian-kajian ilmu fikih, kita dapati ia bermakna, "Kaidah-kaidah
pokok-pokok syari'at yang diambil oleh ulama ushul fikih dari teks-teks yang
menetapkan dasar-dasar tasyri'iyah (legislasi) umum, serta pokok-pokok
tasyri'iyah general seperti : (1) tujuan umum syari'at, (2) apa hak Allah dan
apa hak mukalaf, (3) apa yang menjadi obyek ijtihad, (4) nasakh hukum, serta
(5) ta'arud (pertentangan) dan tarjih (pemilihan salah satu probabilitas
hukum)." Semua istilah-istilah itu sama sekali tidak mempunyai hubungan
dengan substansi-substansi istilah fundamentalisme (ushuliyah) yang dikenal
oleh peradaban Barat dan pemikiran Kristen.
Terlepas dari pemahaman itu, apakah
dalam aliran-aliran pemikiran Islam dan mazhab-mazhabnya --baik yang lama
maupun yang baru-- terdapat aliran pemikiran atau mazhab yang menyikapi
teks-teks suci seperti sikap orang-orang fundamentalis Barat, yakni menggunakan
penafsiran literal atas Al-Qur'an dan As-Sunnah, serta menolak segala metafor
dan takwil atas sesuatu nash (teks), meskipun zahir teks itu jelas-jelas
bertentangan dengan dalil-dalil akal? Hingga dapat dikatakan bahwa sikap aliran
atau mazhab ini terdapat nash-nash Islami yang suci adalah sama persis dengan
aliran fundamentalis Kristen terhadap Injil dan "kitab suci" mereka?
Sehingga, kemudian dapat membenarkan kebenaran "fundamentalisme
Islam" dengan pengertian Barat yang negatif terhadap istilah
"fundamentalisme" ini?
Jawaban terhadap pertanyaan ini
adalah sama sekali tidak ada. Seluruh aliran pemikiran Islam yang lama, baik
sekelompok kecil dari ahli atsar, ash-habul-hadits, kaum zhahiriyah, maupun
kelompok besar mayoritas dari ahli ra'yi, seluruhnya menerima majas (metafor)
dan takwil terhadap banyak nash-nash suci. Sehingga hampir tercapai ijma bahwa
nash-nash yang tidak dapat ditakwilkan, yang dalam istilah ushul fikih disebut
"nash" adalah sedikit, sementara sebagian besar dari nash-nash itu
dapat menerima pendapat, takwil, dan ijtihad. Sedangkan, perbedaan di antara
aliran-aliran pemikiran Islam itu adalah dalam kadar penakwilan itu: ada yang
membatasi diri dalam melakukan penakwilan, ada yang sedang-sedang saja, ada
yang secara berani melakukan penakwilan. Namun, penakwilan itu sama sekali
tidak ditolak oleh mazhab-mazhab Islam. (Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,
hlm 210-232, Kuwait, 1972)
Berikut ini beberapa definisi
tentang "penakwilan" yang dikemukakan oleh para pemikir Islam :
1. Ibnu Rusyd (1126-1198 M)
Dalam kitab Fashul Maqal Fima
Bainal-Hikmati wasy-Syar'iah min al-Ittishal mendefinisikan
"penakwilan" sebagai : "Mengeluarkan arti (dilalah) dari dilalah
hakiki ke dilalah majasi, tanpa melanggar kaidah bahasa Arab dalam proses itu.
Seperti menanamkan sesuatu dengan : yang mirip dengannya, sebabnya, yang
setelahnya, yang mengiringinya, dan hal-hal lain yang dimasukkan dalam
pendefinisian macam-macam kalam majasi."
2. Imam Al-Ghazali (1058-1111M)
Beliau telah meluaskan skup takwil
yang dapat diterima itu menjadi lima tingkat terhadap keberadaan sesuatu yang
dibicarakan oleh nasih itu. Kelima tingkatan itu adalah : wujud zati (hakiki),
wujud hissi (indrawi), wujud khayali (imajinatif), wujud aqli (akal), dan wujud
syibhi (keserupaan). Dengan tingkatan-tingkatan penakwilan yang lima ini, orang
yang melakukan penakwilan itu adalah masuk dalam lingkup tashdiq (pembenaran
terhadap agama) dan keimanan, dan darinya tertolak tuduhan mendustakan agama
atau kezindikan. Imam Al-Ghazali mengatakan : "Setiap orang yang
meletakkan suatu redaksional hadits dan suatu nash dari Al-Qur'an, pada salah
satu tingkat takwil ini maka ia termasuk orang yang membenarkan agama. Karena,
pendustaan adalah mengingkari seluruh makna-makna dalam semua tingkatan ini,
dan mengklaim bahwa semua yang diberitakan oleh nash-nash adalah dusta semata.
Dan, itu adalah kekafiran dan kezindikan. Sementara orang-orang yang melakukan
penakwilan tidak menjadi kafir selama ia menetapi kaidah-kaidah penakwilan.
Kemudian beliau menegaskan, bahwa
seluruh mazhab Islam telah menggunakan takwil. Katanya, "Seluruh kelompok
Umat Islam pada akhirnya terpaksa menggunakan takwil. Dan kelompok yang amat
membatasi diri dari menggunakan takwil adalah Ahmad bin Hambal (780-885 M).
Sementara, kalangan Asy'ariyah dan Muktazilah, karena keduanya lebih mendalam
dalam kajian rasio, maka mereka banyak melakukan penakwilan terhadap
makna-makna zahir teks dalam masalah-masalah akhirat, kecuali sedikit. Dan,
Muktazilah adalah kelompok yang paling banyak menggunakan penakwilan.
3. Imam Muhammad Abduh (1849-1905M)
Beliau menjadikan "pendahuluan
atas akal atas zhahir syara' ketika terjadi benturan antara keduanya"
sebagai pokok dari pokok-pokok Islam. Ia berkata, "Pemeluk Islam telah
sepakat kecuali seditkit orang yang tidak memikirkannya bahwa jika ada
pertentangan antara akal dan naql maka diambil pemahaman yang ditunjukkan oleh
akal. Kemudian, bagian naql itu dilakukan dua jalan pendekatan : pertama, jalan
penerimaan atas keabsahan naql itu, sambil mengakui ketidakmampuan diri untuk
memahaminya, serta menyerahkan masalah itu kepada ilmu Allah SWT. Dan, jalan
yang kedua adalah menakwilkannya, sambil memperhatikan kaidah-kaidah bahasa
Arab dakan menakwilkannya, sehingga maknanya sesuai dengan apa yang dipahami
oleh akal.
4. Imam Hasan Al-Banna (1908-1949 M)
Beliau menafikan kemungkinan
perbedaan, "Dalil-dalil berdasarkan nazhar syar'i (kacamata syar'i) dengan
nazhar aqli (kacamata akal) dalam hal-hal yang qath'i. Oleh karena itu, hakikat
ilmiah tidak akan berbenturan dengan kaidah syari'at yang tetap. Sementara,
yang zhanni (samar-samar) darinya ditakwilkan sesuai dengan yang qath'i
(pasti). Sedangkan, jika keduanya zhanni maka nazhar syar'i lebih utama untuk
diikuti, hingga nazhar alki membuktikan kekuatannya atau ia lenyap. Islam yang
hanif (lurus) dapat menjelaskan masalah ini dengan tuntas, ia menyatukan antara
keimanan yang ghaib dan menggunaan akal. Dan kepada model pemikiran yang
menyatukan antara dua kal ini: yang ghaib dan yang ilmiah, kami mengajak
manusia. (Hasan Al-Banna, Risalah Ta'lim hlm 271)
Demikianlah sikap para pemikir Islam
terhadap majas (metafor) takwil, dan penafsiran literal terhadap nash-nash,
yang sama sekali tidak mengandung pengeritan "fundamentalisme",
seperti yang dikenal oleh Kristen Barat.
Oleh karena itu, tidak ada satu pun
mazhab-mazhab Islam yang hanya membatasi diri pada makna literal nash-nash dan
menolak seluruh bentuk takwil, sehingga dapat dinamakan sebagai kelompok
"fundamentalisme" dengan pengertian Barat atas istilah itu. Dan
karena kondisi "kontemporer Islam" tidak berbeda dengan
"generasi awal Islam" maka aliran-aliran pemikiran Islam baik modern
maupun kontemporer, tidak pernah melahirkan aliran yang sama dengan
"fundamentalisme" Kristen Barat.
Dengan demikian, kita menemukan
perbedaan yang jelas hingga secara diametral antara pemahaman dan pengertian
istilah "fundamentalisme" seperti dikenal oleh Kristen Barat, dengan
pemahaman istilah ini dalam warisan pemikiran Islam, serta dalam aliran-aliran
pemikiran Islam, baik masa lalu, modern, maupun kontemporer. Kaum 'fundamentalis'
di Barat adalah orang-orang yang kaku, dan taklid yang memusuhi akal, metafor,
takwil, dan qiyas (analogi), serta menarik diri dari masa kini dan membatasi
diri pada penafsiran literal nash-nash. Sementara kaum ushuliyin dalam
peradaban Islam adalah para ulama ushul fikih yang merupakan kelompok ulama
yang paling menonjol dalam memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian akal atau
mereka yang adalah ahli penyimpulan hukum, pengambilan dalil, ijtihad dan
pembaruan.
Fakta ini menjadikan kasus istilah
ushuliyah (fundamentalisme) sebagai satu contoh dari sekian contoh kerancuan
pemikiran yang timbul dari sikap yang tidak membedakan antara
pemahaman-pemahaman yang berbeda -- dan kadang-kadang bertentangan -- yang
diciptakan oleh peradaban-peradaban yang berbeda atas suatu istilah yang sama,
yaitu dipergunakan oleh anggota-anggota peradaban yang berbeda itu.
Sedangkan, istilah
"fundamentalisme" dengan pengertian Barat adalah sesuatu yang asing
dari realitas Islam, yang dijejalkan oleh kekuatan "agresi media
massa". Karena, fundamentalisme di Barat bermakna 'orang-orang kaku',
sementara dalam warisan intelektual Islam menunjukkan kaum yang ahli tajdid
(pembaruan), ijtihad, dan penyimpulan hukum.
Pendapat
Hood dkk yang menyatakan bahwa hal
mendasar dari fundamentalisme agama tidak sekedar keyakinan yang kuat tetapi
bagaimana keyakinan tersebut dimaknai dan dipahami. Pemaknaan dan pemahaman ini
terkait erat dengan bagaimana seseorang menempatkan, menggali, dan mempelajari
kitab sucinya.
Fundamentalis
agama cenderung memahami kitab suci secara literal dan tertutup untuk Putra,
Eka Putra & Wongkaren, Zora A. (In Press). Psikobuana Page 5 didiskusikan
dan dinegosiasikan pada kitab lain. Model pemahaman kitab suci ini oleh Hood dkk disebut dengan
intratekstual yang berlawanan dengan model intertekstual yaitu bentuk pemahaman
Al qur’an yang terbuka untuk didiskusikan dan ditafsirkan.
Kitab
suci sebagai dasar ajaran biasanya oleh fundamentalis agama digunakan untuk
memahami dirinya dan untuk memahami seluruh yang ada, yang sifatnya mutlak dan
tidak berubah. Mereka yakin bahwa isi kitab suci adalah suatu yang dipastikan
benar dan akurat sifat kebenarannya. Berdasarkan penjelasan tersebut, Hood dkk
(2005) Berkesimpulan bahwa untuk mengukur Fundamentalisme agama intinya ada
pada pemahaman mereka mengenai kitab suci. Untuk mengakomodasi idenya ini dan mengujinya
secara empiris, Hood dkk (2005) pun membuat alat ukur skala intratekstual
fundamentalisme (Intratekstual Fundamentalism Scale/IFS).
Pertanyaan yang muncul setelah
membaca keterangan Hood dkk adalah apakah alat ukur
yang dikembangkan oleh Hood dkk akan cocok diukur pada agama Islam? Jika mengamati konsep
Fundamentalisme agama dan memahaminya secara khusus, maka alat ukur IFS yang
dikembangkan oleh Hood dkk, akan bermasalah ketika diuji pada agama Islam.
Dasar Islam tidak hanya berasal dari kitab suci Al-qur’an tetapi juga pada As
sunnah yang merekam segala perbuatan dan ucapan Muhammad, dan pola pengajaran
atau pemahaman yang diberikan (Lewis, 1993). Menurut Taylor dan Horgan (2001),
beberapa pemahaman yang khas dimiliki fundamentalisme Islam adalah; 1) Islam
merupakan agama yang universal. 2) ajarannya dapat menjelaskan dan
menyelesaikan segala aspek kehidupan. 3) memiliki hukum dan aturan yang jelas.
4) Muhammad telah memberikan contoh pemerintahan yang baik di
Madina, atau biasa disebut sebagai jaman Putra,[1]
Dari
penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kerangka konseptual yang
dikembangkan oleh Hood dkk belum dapat mengukur fundamentalisme Islam yang
sebenarnya. Penelitian ini berupaya untuk mengadaptasi dan memodifikasi alat
ukur fundamentalisme agama Altemeyer dan Hunsberger (1992; 2004), Hood dkk, dan
mengembangkannya menjadi sebuah alat ukur fundamentalisme Islam berdasarkan
penjelasan Lewis (1993), Taylor dan Horgan (2001). Setelah skala pengukuran
fundamentalisme Islam terbentuk, alat tersebut akan diuji
keterkaitannya
dengan Prasangka.
C. Sistem dalam
Fundamentalisme Agama
Rahardjo menyebutkan kalau sikap dari
fundamentalisme agama adalah militan dan tidak memilihara sikap positif
terhadap perkembangan intelektualitas. Dengan demikian, apakah fundamentalisme
agama dapat terwakili hanya mereka yang anti Modernisme? Mereka yang disebut
ekstremis? Mereka yang dicap teroris? Lalu, sikap individu seperti apa
sebenarnya yang mendasari agar seseorang dapat dikatakan sebagai fundamentalis
atau tidak?
Pada tahun 1992, Altmeyer dan Husberger membuat alat
ukur Fundamentalisme. Ukuran yang diambil oleh Altemeyer dan Husberger dalam
mengukur Fundamentalisme adalah lewat keyakinan agamanya, dengan mengukur
tingkat sistem keyakinan (belief sistem). Bagi Altemeyer dan
Husberger, fundamentalisme agama itu memiliki sistem keyakinan yang berbeda
dengan sistem keyakinan penganut agama lainnya. Hal ini dijelaskan oleh Altemeyer
dan Husberger sebagai berikut:
“Fundamentalism scale is to
measure the Belief that there is one set of religious teaching that clearly
contains the fundamental. Basic intrinsic, essential, inerrant truth about
humanity and deity; that this essential truth is fundamentally opposed by
forces of evil which must be vigorously practice of the past; and that those
who believe and follow these fundamental teachings have a special relationship
with the deity. (Altemeyer & Husberger, 1992)
Mengacu pada alat ukur Fundamentalisme yang dibuat
oleh Altemeyer dan Huseberger, Altemeyer pun melihat bahwa fundamentalisme
agama merupakan sebuah manifestasi sifat otoritarian (RWA) keberagamaan
(Altemeyer, 1996). Akan tetapi, menurut Altemeyer, fundamentalisme agama lebih
cenderung memunculkan sifat pengikut yang otoritarian daripada menjadikannya
pemimpin yang otoritarian.
Pada tahun 2001, skala Fundamentalisme yang dibuat
oleh Altemeyer dan Husberger direvisi ulang oleh mereka. Hal ini dilakukan
karena ternyata skala Fundamentalisme banyak terkandung skala kebenaran satu
agama. Sebagaimana yang yang ditulis oleh altemeyer tentang revisi skala
Fundamentalismenya:
“at least half of its items
involve the “one true Religion” theme as, of all the people on this earth, one
group has a special relationship with God because it believes the most in his
revealed truths and tries hardest to follow ahis laws, “and” No ane religion is
specially clos to God, Nor does God favor any particular group of believers” (Altemeyer,
2001)
Sejalan dengan revisi yang dibangun oleh Altemeyer
(2001), pada tahun 2005, Hood, Hill, dan Williamson menyatakan kalau sistem
keyakinan yang dapat mengenali mereka sebagai fundamentalisme agama tidak hanya
sistem keyakinan tentang diri sendiri melainkan juga sistem keyakinan tentang
yang lain (memandang yang lain) (Hood dkk., 2005). Kumpulan dari sistem
keyakinan ini mereka sebut dengan sistem makna (meaning system).
Sistem makna, menurut Hood dkk., (2005) terbangun
dari pemahaman para Fundamentalis terhadap kitab sucinya secara intratekstual.
Pemahaman kitab suci dengan intratekstual adalah mereka yang menganggap kitab
sucinya adalah sesuatu yang sakral dan tidak dapat diperdebatkan serta
dinegosiasikan lagi dengan kebenaran lainnya. Menurut fundamentalisme agama,
jika ada sesuatu yang bertentangan antara kitab suci dengan suatu
penemuan-penemuan empiris, maka yang salah adalah penemuan baru tersebut
bukanlah kitab sucinya. Oleh sebab itu, yang harus dibenarkan adalah penemuan
baru tersebut, bukan kitab suci.
[1]
Eka Putra & Wongkaren, Zora A. (In Press). Psikobuana Page 6 keemasan Islam
(Taylor & Horgan, 2002).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar