Senin, 14 April 2014

FUNDAMENTALISME AGAMA

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Fundamentalisme
Istilah fundamentalisme sangat erat kaitannya dengan agama. Beberapa pendapat menyatakan Istilah ini bermula dari sebuahh buku berjudul “the  Fundamentals” pada tahun 1915 yang dalam isinya sangat berhubungan dengan agama protertan. Berikut beberapa  pengertian fundamentalisme agama :
1.      Dalam wikepedia fundamentalisme adalah sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham atau agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fondasi)
2.      Summers (2006) mengartikan arti awal Fundamentalisme sebagai tujuan untuk mengembalikan agama kepada bentuk dan prinsip asal muasalnya. Implikasi ini juga menyentuh wilayah keimanan yang juga dianggap telah menyimpang dari konsep dasarnya sehingga kehilangan hubungan dengan makna yang sesungguhnya suatu ajaran agama

3.      Kuzzman (2001) mensinonimkan Islam fundamentalis dengan bentuk Islam revivalis, yaitu gerakan pemurnian Islam. Bagi para revivalis, Islam saat ini sudah banyak dikotori oleh bid’ah-bid’ah dan penafsiran-penafsiran yang sama sekali keluar dari al-Qur’an. Menurut mereka tiada hukum selain hukum Tuhan. Gerakan revivalis pun menolak adat dan mereka hanya ingin menerima Islam secara murni.
B.       Fundamentalisme dalam Agama Islam
Istilah 'ushuliyah' (fundamentalisme) dengan makna yang populer dalam dunia media massa tersebut, adalah berasal dari Barat, dan berisikan pengertian dengan tipologi Barat pula. Sementara, istilah 'ushuliyah' dalam bahasa Arab dan dalam wacana pemikiran Islam, mempunyai pengertian-pengertian lain yang berbeda dengan apa yang dipahami oleh wacana pemikiran Barat yang saat ini dipergunakan oleh banyak orang.
Perbedaan pemahaman dan substansi dalam mempergunakan istilah yang sama, merupakan sesuatu yang sering terjadi dalam banyak istilah yang dipergunakan oleh bangsa Arab dan kaum muslimin, serta secara bersamaan dipergunakan pula oleh karangan Barat, padahal keduanya mempunyai pengertian yang berbeda dalam melihat istilah yang sama itu. Hal ini banyak menimbulkan kesalahpahaman dan kekeliruan dalam kehidupan budaya, politik, dan media massa kontemporer yang padanya perangkat-perangkat komunikasi mencampuradukkan berbagai istilah yang banyak, yang sama istilahnya, namun berbeda-beda pengertian, latar belakang dan pengaruhnya
Dalam visi Arab dan dalam wacana pemikiran Islam, kita tidak menemukan dalam kamus-kamus lama, baik kamus bahasa maupun kamus istilah, disebutnya istilah ushuliyah "fundamentalisme". Kita hanya menemukan kata dasar istilah itu yaitu al-ashlu dengan makna 'dasar sesuatu' dan 'kehormatan'. Bentuk pluralnya adalah ushul (QS Al-Hasyr : 5) (Ash-Shaaffat :64). Al-ashlu juga bermakna 'akar' (QS Ibrahim : 24).
Al-ashlu juga disebut bagi undang-undang atau kaidah yang berkaitan dengan furu' (parsial-parsial) dan masa yang telah lalu. Seperti yang diungkapkan dalam rediaksional ulama ushul fikih, "Asal segala sesuatu adalah boleh atau suci." Dan, "ushul" adalah prinsip-prinsip yang telah disepakati atau diterima.
Bagi ulama ushul fikih, kata al-ashlu disebut dengan beberapa makna. Pertama, 'dalil'. Dikatakan bahwa asal masalah ini adalah Al-Kitab dan Sunnah. Kedua, 'kaidah umum'. Dan ketiga, 'yang rajih' atau 'yang paling kuat' dan 'yang paling utama'. (Lihat kitab Lisanul Arab, Ibnu Manzhur, Kairo : Darul Ma'arif)
Dalam peradaban Islam telah terbangun ilmu-ilmu ushuluddin, yaitu ilmu kalam, tauhid, dan ilmu fikih akbar. Juga ilmu ushul fikih, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah dan kajian-kajian yang dipergunakan untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan hukum-hukum syara' praktekal dari dalil-dalil perinciannya. Serta ilmu ushul hadits atau mushthalah hadits.
Demikianlah warisan keilmuan Islam dan peradabannya, serta kamus-kamus bahasa Arab yang tidak mengenal istilah ushuliyah (fundamentalisme) dan pengertian-pengertian yang dikenal Barat atas istilah ini.
Hingga dalam pemikiran Islam kontemporer yang sebagian ulamanya menggunakan istilah ushuliyah dalam kajian-kajian ilmu fikih, kita dapati ia bermakna, "Kaidah-kaidah pokok-pokok syari'at yang diambil oleh ulama ushul fikih dari teks-teks yang menetapkan dasar-dasar tasyri'iyah (legislasi) umum, serta pokok-pokok tasyri'iyah general seperti : (1) tujuan umum syari'at, (2) apa hak Allah dan apa hak mukalaf, (3) apa yang menjadi obyek ijtihad, (4) nasakh hukum, serta (5) ta'arud (pertentangan) dan tarjih (pemilihan salah satu probabilitas hukum)." Semua istilah-istilah itu sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan substansi-substansi istilah fundamentalisme (ushuliyah) yang dikenal oleh peradaban Barat dan pemikiran Kristen.
Terlepas dari pemahaman itu, apakah dalam aliran-aliran pemikiran Islam dan mazhab-mazhabnya --baik yang lama maupun yang baru-- terdapat aliran pemikiran atau mazhab yang menyikapi teks-teks suci seperti sikap orang-orang fundamentalis Barat, yakni menggunakan penafsiran literal atas Al-Qur'an dan As-Sunnah, serta menolak segala metafor dan takwil atas sesuatu nash (teks), meskipun zahir teks itu jelas-jelas bertentangan dengan dalil-dalil akal? Hingga dapat dikatakan bahwa sikap aliran atau mazhab ini terdapat nash-nash Islami yang suci adalah sama persis dengan aliran fundamentalis Kristen terhadap Injil dan "kitab suci" mereka? Sehingga, kemudian dapat membenarkan kebenaran "fundamentalisme Islam" dengan pengertian Barat yang negatif terhadap istilah "fundamentalisme" ini?
Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah sama sekali tidak ada. Seluruh aliran pemikiran Islam yang lama, baik sekelompok kecil dari ahli atsar, ash-habul-hadits, kaum zhahiriyah, maupun kelompok besar mayoritas dari ahli ra'yi, seluruhnya menerima majas (metafor) dan takwil terhadap banyak nash-nash suci. Sehingga hampir tercapai ijma bahwa nash-nash yang tidak dapat ditakwilkan, yang dalam istilah ushul fikih disebut "nash" adalah sedikit, sementara sebagian besar dari nash-nash itu dapat menerima pendapat, takwil, dan ijtihad. Sedangkan, perbedaan di antara aliran-aliran pemikiran Islam itu adalah dalam kadar penakwilan itu: ada yang membatasi diri dalam melakukan penakwilan, ada yang sedang-sedang saja, ada yang secara berani melakukan penakwilan. Namun, penakwilan itu sama sekali tidak ditolak oleh mazhab-mazhab Islam. (Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm 210-232, Kuwait, 1972)
Berikut ini beberapa definisi tentang "penakwilan" yang dikemukakan oleh para pemikir Islam :
1. Ibnu Rusyd (1126-1198 M)
Dalam kitab Fashul Maqal Fima Bainal-Hikmati wasy-Syar'iah min al-Ittishal mendefinisikan "penakwilan" sebagai : "Mengeluarkan arti (dilalah) dari dilalah hakiki ke dilalah majasi, tanpa melanggar kaidah bahasa Arab dalam proses itu. Seperti menanamkan sesuatu dengan : yang mirip dengannya, sebabnya, yang setelahnya, yang mengiringinya, dan hal-hal lain yang dimasukkan dalam pendefinisian macam-macam kalam majasi."
2. Imam Al-Ghazali (1058-1111M)
Beliau telah meluaskan skup takwil yang dapat diterima itu menjadi lima tingkat terhadap keberadaan sesuatu yang dibicarakan oleh nasih itu. Kelima tingkatan itu adalah : wujud zati (hakiki), wujud hissi (indrawi), wujud khayali (imajinatif), wujud aqli (akal), dan wujud syibhi (keserupaan). Dengan tingkatan-tingkatan penakwilan yang lima ini, orang yang melakukan penakwilan itu adalah masuk dalam lingkup tashdiq (pembenaran terhadap agama) dan keimanan, dan darinya tertolak tuduhan mendustakan agama atau kezindikan. Imam Al-Ghazali mengatakan : "Setiap orang yang meletakkan suatu redaksional hadits dan suatu nash dari Al-Qur'an, pada salah satu tingkat takwil ini maka ia termasuk orang yang membenarkan agama. Karena, pendustaan adalah mengingkari seluruh makna-makna dalam semua tingkatan ini, dan mengklaim bahwa semua yang diberitakan oleh nash-nash adalah dusta semata. Dan, itu adalah kekafiran dan kezindikan. Sementara orang-orang yang melakukan penakwilan tidak menjadi kafir selama ia menetapi kaidah-kaidah penakwilan.
Kemudian beliau menegaskan, bahwa seluruh mazhab Islam telah menggunakan takwil. Katanya, "Seluruh kelompok Umat Islam pada akhirnya terpaksa menggunakan takwil. Dan kelompok yang amat membatasi diri dari menggunakan takwil adalah Ahmad bin Hambal (780-885 M). Sementara, kalangan Asy'ariyah dan Muktazilah, karena keduanya lebih mendalam dalam kajian rasio, maka mereka banyak melakukan penakwilan terhadap makna-makna zahir teks dalam masalah-masalah akhirat, kecuali sedikit. Dan, Muktazilah adalah kelompok yang paling banyak menggunakan penakwilan.
3. Imam Muhammad Abduh (1849-1905M)
Beliau menjadikan "pendahuluan atas akal atas zhahir syara' ketika terjadi benturan antara keduanya" sebagai pokok dari pokok-pokok Islam. Ia berkata, "Pemeluk Islam telah sepakat kecuali seditkit orang yang tidak memikirkannya bahwa jika ada pertentangan antara akal dan naql maka diambil pemahaman yang ditunjukkan oleh akal. Kemudian, bagian naql itu dilakukan dua jalan pendekatan : pertama, jalan penerimaan atas keabsahan naql itu, sambil mengakui ketidakmampuan diri untuk memahaminya, serta menyerahkan masalah itu kepada ilmu Allah SWT. Dan, jalan yang kedua adalah menakwilkannya, sambil memperhatikan kaidah-kaidah bahasa Arab dakan menakwilkannya, sehingga maknanya sesuai dengan apa yang dipahami oleh akal.
4. Imam Hasan Al-Banna (1908-1949 M)
Beliau menafikan kemungkinan perbedaan, "Dalil-dalil berdasarkan nazhar syar'i (kacamata syar'i) dengan nazhar aqli (kacamata akal) dalam hal-hal yang qath'i. Oleh karena itu, hakikat ilmiah tidak akan berbenturan dengan kaidah syari'at yang tetap. Sementara, yang zhanni (samar-samar) darinya ditakwilkan sesuai dengan yang qath'i (pasti). Sedangkan, jika keduanya zhanni maka nazhar syar'i lebih utama untuk diikuti, hingga nazhar alki membuktikan kekuatannya atau ia lenyap. Islam yang hanif (lurus) dapat menjelaskan masalah ini dengan tuntas, ia menyatukan antara keimanan yang ghaib dan menggunaan akal. Dan kepada model pemikiran yang menyatukan antara dua kal ini: yang ghaib dan yang ilmiah, kami mengajak manusia. (Hasan Al-Banna, Risalah Ta'lim hlm 271)
Demikianlah sikap para pemikir Islam terhadap majas (metafor) takwil, dan penafsiran literal terhadap nash-nash, yang sama sekali tidak mengandung pengeritan "fundamentalisme", seperti yang dikenal oleh Kristen Barat.
Oleh karena itu, tidak ada satu pun mazhab-mazhab Islam yang hanya membatasi diri pada makna literal nash-nash dan menolak seluruh bentuk takwil, sehingga dapat dinamakan sebagai kelompok "fundamentalisme" dengan pengertian Barat atas istilah itu. Dan karena kondisi "kontemporer Islam" tidak berbeda dengan "generasi awal Islam" maka aliran-aliran pemikiran Islam baik modern maupun kontemporer, tidak pernah melahirkan aliran yang sama dengan "fundamentalisme" Kristen Barat.
Dengan demikian, kita menemukan perbedaan yang jelas hingga secara diametral antara pemahaman dan pengertian istilah "fundamentalisme" seperti dikenal oleh Kristen Barat, dengan pemahaman istilah ini dalam warisan pemikiran Islam, serta dalam aliran-aliran pemikiran Islam, baik masa lalu, modern, maupun kontemporer. Kaum 'fundamentalis' di Barat adalah orang-orang yang kaku, dan taklid yang memusuhi akal, metafor, takwil, dan qiyas (analogi), serta menarik diri dari masa kini dan membatasi diri pada penafsiran literal nash-nash. Sementara kaum ushuliyin dalam peradaban Islam adalah para ulama ushul fikih yang merupakan kelompok ulama yang paling menonjol dalam memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian akal atau mereka yang adalah ahli penyimpulan hukum, pengambilan dalil, ijtihad dan pembaruan.
Fakta ini menjadikan kasus istilah ushuliyah (fundamentalisme) sebagai satu contoh dari sekian contoh kerancuan pemikiran yang timbul dari sikap yang tidak membedakan antara pemahaman-pemahaman yang berbeda -- dan kadang-kadang bertentangan -- yang diciptakan oleh peradaban-peradaban yang berbeda atas suatu istilah yang sama, yaitu dipergunakan oleh anggota-anggota peradaban yang berbeda itu.
Sedangkan, istilah "fundamentalisme" dengan pengertian Barat adalah sesuatu yang asing dari realitas Islam, yang dijejalkan oleh kekuatan "agresi media massa". Karena, fundamentalisme di Barat bermakna 'orang-orang kaku', sementara dalam warisan intelektual Islam menunjukkan kaum yang ahli tajdid (pembaruan), ijtihad, dan penyimpulan hukum.

Pendapat Hood dkk  yang menyatakan bahwa hal mendasar dari fundamentalisme agama tidak sekedar keyakinan yang kuat tetapi bagaimana keyakinan tersebut dimaknai dan dipahami. Pemaknaan dan pemahaman ini terkait erat dengan bagaimana seseorang menempatkan, menggali, dan mempelajari kitab sucinya.
Fundamentalis agama cenderung memahami kitab suci secara literal dan tertutup untuk Putra, Eka Putra & Wongkaren, Zora A. (In Press). Psikobuana Page 5 didiskusikan dan dinegosiasikan pada kitab lain. Model pemahaman kitab suci ini oleh Hood dkk disebut dengan intratekstual yang berlawanan dengan model intertekstual yaitu bentuk pemahaman Al qur’an yang terbuka untuk didiskusikan dan ditafsirkan.
Kitab suci sebagai dasar ajaran biasanya oleh fundamentalis agama digunakan untuk memahami dirinya dan untuk memahami seluruh yang ada, yang sifatnya mutlak dan tidak berubah. Mereka yakin bahwa isi kitab suci adalah suatu yang dipastikan benar dan akurat sifat kebenarannya. Berdasarkan penjelasan tersebut, Hood dkk (2005) Berkesimpulan bahwa untuk mengukur Fundamentalisme agama intinya ada pada pemahaman mereka mengenai kitab suci. Untuk mengakomodasi idenya ini dan mengujinya secara empiris, Hood dkk (2005) pun membuat alat ukur skala intratekstual fundamentalisme (Intratekstual Fundamentalism Scale/IFS).
Pertanyaan yang muncul setelah membaca keterangan Hood dkk adalah apakah alat ukur yang dikembangkan oleh Hood dkk akan cocok diukur pada agama Islam? Jika mengamati konsep Fundamentalisme agama dan memahaminya secara khusus, maka alat ukur IFS yang dikembangkan oleh Hood dkk, akan bermasalah ketika diuji pada agama Islam. Dasar Islam tidak hanya berasal dari kitab suci Al-qur’an tetapi juga pada As sunnah yang merekam segala perbuatan dan ucapan Muhammad, dan pola pengajaran atau pemahaman yang diberikan (Lewis, 1993). Menurut Taylor dan Horgan (2001), beberapa pemahaman yang khas dimiliki fundamentalisme Islam adalah; 1) Islam merupakan agama yang universal. 2) ajarannya dapat menjelaskan dan menyelesaikan segala aspek kehidupan. 3) memiliki hukum dan aturan yang jelas. 4) Muhammad  telah  memberikan contoh pemerintahan yang baik di Madina, atau biasa disebut sebagai jaman Putra,[1]
Dari penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kerangka konseptual yang dikembangkan oleh Hood dkk belum dapat mengukur fundamentalisme Islam yang sebenarnya. Penelitian ini berupaya untuk mengadaptasi dan memodifikasi alat ukur fundamentalisme agama Altemeyer dan Hunsberger (1992; 2004), Hood dkk, dan mengembangkannya menjadi sebuah alat ukur fundamentalisme Islam berdasarkan penjelasan Lewis (1993), Taylor dan Horgan (2001). Setelah skala pengukuran fundamentalisme Islam terbentuk, alat tersebut akan diuji
keterkaitannya dengan Prasangka.
C.      Sistem dalam Fundamentalisme Agama
Rahardjo menyebutkan kalau sikap dari fundamentalisme agama adalah militan dan tidak memilihara sikap positif terhadap perkembangan intelektualitas. Dengan demikian, apakah fundamentalisme agama dapat terwakili hanya mereka yang anti Modernisme? Mereka yang disebut ekstremis? Mereka yang dicap teroris? Lalu, sikap individu seperti apa sebenarnya yang mendasari agar seseorang dapat dikatakan sebagai fundamentalis atau tidak?
Pada tahun 1992, Altmeyer dan Husberger membuat alat ukur Fundamentalisme. Ukuran yang diambil oleh Altemeyer dan Husberger dalam mengukur Fundamentalisme adalah lewat keyakinan agamanya, dengan mengukur tingkat sistem keyakinan (belief sistem). Bagi Altemeyer dan Husberger, fundamentalisme agama itu memiliki sistem keyakinan yang berbeda dengan sistem keyakinan penganut agama lainnya. Hal ini dijelaskan oleh Altemeyer dan Husberger sebagai berikut:
“Fundamentalism scale is to measure the Belief that there is one set of religious teaching that clearly contains the fundamental. Basic intrinsic, essential, inerrant truth about humanity and deity; that this essential truth is fundamentally opposed by forces of evil which must be vigorously practice of the past; and that those who believe and follow these fundamental teachings have a special relationship with the deity. (Altemeyer & Husberger, 1992)
Mengacu pada alat ukur Fundamentalisme yang dibuat oleh Altemeyer dan Huseberger, Altemeyer pun melihat bahwa fundamentalisme agama merupakan sebuah manifestasi sifat otoritarian (RWA) keberagamaan (Altemeyer, 1996). Akan tetapi, menurut Altemeyer, fundamentalisme agama lebih cenderung memunculkan sifat pengikut yang otoritarian daripada menjadikannya pemimpin yang otoritarian.
Pada tahun 2001, skala Fundamentalisme yang dibuat oleh Altemeyer dan Husberger direvisi ulang oleh mereka. Hal ini dilakukan karena ternyata skala Fundamentalisme banyak terkandung skala kebenaran satu agama. Sebagaimana yang yang ditulis oleh altemeyer tentang revisi skala Fundamentalismenya:
“at least half of its items involve the “one true Religion” theme as, of all the people on this earth, one group has a special relationship with God because it believes the most in his revealed truths and tries hardest to follow ahis laws, “and” No ane religion is specially clos to God, Nor does God favor any particular group of believers” (Altemeyer, 2001)
Sejalan dengan revisi yang dibangun oleh Altemeyer (2001), pada tahun 2005, Hood, Hill, dan Williamson menyatakan kalau sistem keyakinan yang dapat mengenali mereka sebagai fundamentalisme agama tidak hanya sistem keyakinan tentang diri sendiri melainkan juga sistem keyakinan tentang yang lain (memandang yang lain) (Hood dkk., 2005). Kumpulan dari sistem keyakinan ini mereka sebut dengan sistem makna (meaning system).
Sistem makna, menurut Hood dkk., (2005) terbangun dari pemahaman para Fundamentalis terhadap kitab sucinya secara intratekstual. Pemahaman kitab suci dengan intratekstual adalah mereka yang menganggap kitab sucinya adalah sesuatu yang sakral dan tidak dapat diperdebatkan serta dinegosiasikan lagi dengan kebenaran lainnya. Menurut fundamentalisme agama, jika ada sesuatu yang bertentangan antara kitab suci dengan suatu penemuan-penemuan empiris, maka yang salah adalah penemuan baru tersebut bukanlah kitab sucinya. Oleh sebab itu, yang harus dibenarkan adalah penemuan baru tersebut, bukan kitab suci.



[1] Eka Putra & Wongkaren, Zora A. (In Press). Psikobuana Page 6 keemasan Islam (Taylor & Horgan, 2002).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar