“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum
sehingga kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (QS Ar
Ra’du: 11)
Iman kepada taqdir merupakan sesuatu yang wajib bagi setiap
muslim. Sebab, hal ini memiliki sandaran nash-nash Al Qur'an yang pasti
(qoth’i) serta dijelaskan oleh Rosulullah SAW dalam sunahnya. Berbeda dengan
iman kepada ‘Qadha dan Qadar’, ia bukan lahir dari nash-nash syara’ secara
langsung. Istilah Qadha dan Qadar, --sebagai istilah tertentu yang bermakna
tertentu pula--, tidak didapatkan dalam Al Qur'an maupun As Sunnah. Jika kita
kaji dari buku-buku hadits, kita tidak akan menemukan masalah ini (qodha dan
qadar). Kita hanya menemukan pembahasan taqdir (atau al qadar yang bermakna
taqdir). Misalnya dalam Shahih Bukhari hadits no. 6594-6620 dan Shahih Muslim
no. 2634-2664; yang merupakan bab khusus tentang masalah taqdir. Di dalam Al
Qur'an sendiri tidak ada istilah ‘qadha dan qadar’ yang digabungkan. Keduanya
hanya ditemukan secara terpisah (lihat indeks Al Qur'an, Muh. Fuad Abdul Baqi,
hal. 536-537 tentang al qadar, dan hal 546-547 tentang qadha).
Tidak adanya istilah qadha dan qadar (yang digabungkan, dan
memiliki makna tertentu) tersebut, karena memang masalah ini baru muncul pada
masa tabi’in (setelah masa shahabat), pada akhir abad pertama Hijriyah (awal
abad kedua Hijriyah).
Taqdir dan Pengertian Iman Terhadapnya
Seorang muslim beriman dan yakin bahwa semua keadaan di
dunia ini pasti diketahui oleh Allah SWT (karena memang Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu (Al ‘Aliim)), baik kejadian yang telah terjadi, maupun yang akan
terjadi. Kejadian apapun bentuknya telah diketahui oleh Allah SWT dan
dituliskan di Lauhul Mahfuz (kitab induk dan gambaran umum luasnya ilmu Allah SWT).
Inilah pengertian sederhana dari taqdir yang telah
dijelaskan oleh Al Qur'an dan hadits Rosulullah SAW. Dengan kata lain
taqdir adalah catatan (ilmu Allah) yang
menyeluruh tentang segala sesuatu. Yang dimaksud dengan ‘segala sesuatu’ yakni
termasuk benda-benda, manusia, amal perbuatannya, makhluk hidup lain, dan
lain-lain; semuanya telah tercatat/diketahui oleh Allah SWT dan dituliskannya
di Lauhul Mahfuzh.
Setiap muslim wajib beriman kepada taqdir karena merupakan
bagian dari rukun iman. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Umar bin Khatab, ketika itu Malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW dan
bertanya:
“Coba ceritakan apa iman itu? Lalu Rosulullah menjawab :
Iman itu percaya kepada adanya Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
rasul-nya, hari kiamat dan percaya kepada taqdir baik dan buruknya berasal dari
Allah SWT.” (HR Muslim)
Jika Seorang tidak percaya kepada taqdir, maka imannya cacat
bahkan dapat mengeluarkan dirinya dari Islam, karena masalah ini telah tegas dijelaskan
oleh nash-nash Al Qur'an dan hadits Rosulullah SAW, seperti ayat:
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut
taqdirnya/ukurannya.” (QS Al Qamar: 49)
Dalam menafsirkan ayat ini Imam Asy Syuyuti menyatakan:
“Kepercayaan yang dipegang oleh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
adalah bahwa Allah SWT telah mentaqdirkan segala sesuatu. Artinya Dia telah
mengetahui ukuran, kondisi, peraturan, dan waktunya, jauh sebelum sesuatu itu
terjadi. Oleh karena itu, tidak ada sesuatu kejadian di langit dan bumi kecuali
seluruhnya muncul dari ilmu, qudrah (kekuasaan) dan iradah (kehendak) Allah
SWT.” (lihat Tafsir Imam Qurthubi juz XVII hal. 148)
Makna dari semua ini adalah Allah SWT telah mengetahui
segala sesuatu tentang manusia sebelum ia diciptakan. Dia juga mengetahui
ketetapan nasib seseorang di dunia ini
maupun di akhirat kelak (bahagia atau celaka, sukses atau gagal, kaya atau
miskin, umurnya, dsb).
Pahamilah, pembahasan masalah taqdir sebenarnya hanyalah
pembahasan tentang kekuasaan Allah SWT. Taqdir merupakan Ilmu Allah dan
kekhususan bagi-Nya (ilmu Allah mencakup segala sesuatu karena ia memang
bersifat Al ‘Aliim) dan mustahil ada sesuatu yang tidak diketahui-Nya.
Hadits berikut ini menunjukan wajibnya iman kepada taqdir
dan larangan mengingkarinya :
“Bagi setiap umat akan muncul segolongan manusia yang
berperilaku seperti majusi. Orang-orang majusi mengatakan bahwa tidak ada
taqdir. Jika diantara mereka ada yang meninggal, maka janganlah kalian
menghadiri jenazahnya. Jika mereka sakit, janganlah dijenguk, (sebab) mereka
adalah (sama dengan) golongan dajjal. Memang pantas ketentuan tersebut, yaitu
menghubungkan perilaku mereka yang mirip dengan dajjal, adalah ketentuan yang
haq (benar) dari Allah SWT.” (HR. Abu Dawud dari Hudzaifah, lihat Sunan Abu
Dawud, juz IV hal. 222)
Meskipun kita beriman kepada taqdir (ilmu) Allah SWT, tetapi
janganlah kita mencampur-adukan antara “iman kepada taqdir” tersebut dengan
“amal perbuatan manusia”, karena keduanya tidak ada hubungan sama sekali.
Artinya, ilmu Allah (taqdir) tidak pernah memaksa seseorang untuk berbuat
sesuatu dan juga tidak pernah memaksa seseorang untuk tidak berbuat sesuatu.
Rosulullah SAW telah melarang para shahabatnya
mencampur-adukan pemahaman taqdir dengan amal perbuatan manusia yang dapat
menyebabkan manusia tidak mau berusaha. Harus dipahami bahwa ada perbedaan
antara: Apa-apa yang harus diyakini dengan apa-apa yang harus dikerjakan!
Telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Ali bin Abi
Thalib ra. yang artinya:
“Rosulullah SAW suatu hari duduk-duduk (bersama para
shahabat). Di tangan beliau ada sepotong kayu, lalu dengan kayu tersebut beliau
menggores-gores (tanah). Lalu nabi mengangkat kepala dan berkata : “Setiap
kalian yang bernyawa sudah ditetapkan tempatnya di jannah (surga) dan
jahannam”. Para shahabat terkejut lalu
bertanya : “Kalau demikian ya Rosulullah apa gunanya kita beramal? Apakah tidak
lebih baik kita bertawakal saja (kepada
taqdir)? Beliau menjawab : “Jangan! Tetaplah beramal, setiap orang akan
dimudahkan oleh Allah jalan yang sudah ditentukan baginya.” Lalu Rosulullah
membaca surat
Al Lail ayat 5-10”. (Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, juz XVI, hal. 196-197)
Sesungguhnya Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan
dengan bekal akal, kekuatan, persiapan tenaga dan ilmu agar ia mampu membedakan
mana yang salah dan mana yang benar sebagai standar perbuatannya. Dengan
demikian maka secara suka rela manusia akan memilih (tanpa adanya unsur
paksaan) suatu kehendaknya sendiri. Karena sesungguhnya taqdir hanyalah
pemberitahuan tentang ilmu Allah yang sangat luas, meliputi segala sesuatu dan
ilmu Allah tersebut tidak pernah memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu atau
tidak berbuat sesuatu. (lihat Imam Al Khattabi dalam Aqidah Islam. Sayyid
Sabiq, hal. 151)
Tidak ada seorang manusia pun yang tahu apa yang tertulis
bagi dirinya di Lauhul Mahfuzh. Karenanya tidak bisa dibenarkan jika ada
seseorang yang berkata : “Saya berbuat begini karena telah dituliskan oleh
Allah SWT di Lauhul Mahfuzh harus berbuat begini”. Karena, darimana ia tahu
bahwa Allah telah menuliskan perbuatan tersebut baginya di Lauhul Mahfuzh?
Sesungguhnya beriman kepada taqdir dalam pemahaman yang
benar, pasti akan memberikan suatu kekuatan semangat juang yang luar biasa.
Pemahaman yang utuh akan memberikan dorongan yang positif untuk meraih
kehidupan bahagia yang sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya dalam garis
syari’at Islam. Selain itu, hal tersebut juga akan memberikan ketabahan dan
keberanian dalam membela yang haq, berhati baja dalam merealisasikan hal-hal
yang haq serta menetapi segala kewajiban yang dibebankan kepadanya. Tidak ada
istilah lemah atau putus asa dalam kamus orang yang beriman kepada taqdir
dengan pemahaman yang benar. Ia akan menjadi orang yang bersyukur ketika
langkah-langkahnya memberikan keberhasilan/kebaikan dan ia akan menjadi orang
yang sabar ketika langkah-langkahnya tidak memberikan keberhasilan.
Asal Mula Munculnya Istilah ‘Qadha dan Qadar’
Akhir abad kedua merupakan masa suburnya penaklukan daerah
lain, yang dilakukan oleh Khilafah Islamiyah ke seluruh penjuru dunia. Banyak
hal baru mulai ditemukan, termasuk usaha-usaha menerjemahkan faham-faham di
luar Islam semisal filsafat (Yunani). Pada awalnya hanya semacam kebutuhan
untuk menjawab dan berdebat dengan mereka setelah dari pihak Nasrani terlebih
dahulu mempelajarinya untuk mempertahankan aqidah mereka. Kaum Muslimin
tergerak untuk mendalami filsafat Yunani untuk membantah masalah-masalah yang
dilontarkan pihak Nashrani, terutama dalam bidang “kebebasan bertindak” (free
will). Permasalahan ini terus berkembang dan akhirnya muncullah beberapa
aliran/pandangan di kalangan kaum muslimin sendiri terhadap permasalahan ini.
1. Faham Qadariyah (Muktazilah)
Ketika Islam telah menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia,
kemunculan berbagai faham di dalam ajaran Islam sulit untuk dihindari.
Karenanya kemunculan segolongan dari kaum Muslimin yang berpendapat bahwa
manusia itu bebas berkehendak atau terlepas dari taqdir Allah SWT adalah salah
satu akibat persinggungan Islam dengan budaya setempat. Golongan ini mengatakan
bahwa manusia bebas berkehendak, artinya manusia memiliki kemampuan (qadar)
untuk berusaha sendiri. Itulah sebabnya akhirnya golongan ini disebut dengan
“Qadariyah”[1]. Mereka menolak pengaturan untuk segala sesuatunya sesuai dengan
taqdir (Al Qadar) maupun dalam ketetapan Allah[2]. Faham ini pertama kali
dikembangkan oleh Washil bin Atha’.
Secara garis besar, Muktazilah berpendapat bahwa manusia
memiliki kehendak (iradlah), kekuatan, kekuasaan (qudrat, power) dan kebebasan
(huriyyah, freedom) untuk berbuat atau tidak berbuat serta terlepas dari
kehendak, kekuasaan dan taqdir Allah. Karena itu, menurut faham ini, wajar dan
adil apabila manusia harus bertanggung jawab atas semua perbuatannya[3].
Golongan ini memandang bahwa manusia sesungguhnya menciptakan segala
perbuatannya dengan ikhtiar dan qudratnya sendiri sementara iradlat dan qudrat
Allah tidak turut campur dalam perbuatan manusia[4].
Inilah faham indeterminasi (Qadariyah) dari filsafat Yunani
yang merasuk ke pemikiran dunia Islam yang menyebabkan banyaknya orang yang
terselewengkan, hanyut oleh pikiran melayang yang akhirnya jatuh ke jurang
kesesatan, bahkan pemikiran ini telah mengganggu persatuan umat[5].
Untuk mendukung pendapat mereka, Muktazilah gemar
menakwilkan ayat-ayat Al Qur'an[6]. Ayat-ayat Al Qur'an yang sering dikutip
adalah ayat-ayat yang menunjukan bahwa manusia mendapat balasan atas
perbuatannya misalnya:
“(Dan) Katakanlah: ‘Kebenaran itu datangnya dari Rabb-Mu.
Maka, siapa saja yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan siapa yang ingin
(kafir), biarlah ia kafir...” (QS Al
Kahfi: 29)
Dalam perkembangannya, faham ini telah dirangkul erat-erat
oleh ahli pikir Barat yang ingin menyesatkan kaum Muslimin dengan cara melepaskan
mereka dari imannya. Padahal Islam telah memulai risalahnya dengan penanaman
iman dan beriman kepada enam rukun iman yang dimulai dengan iman kepada Allah
dan Rasul-Nya. Inilah ikatan yang mengekang manusia dalam menggunakan akalnya,
yaitu segala sesuatu telah diberikan batas, dari garis halal dan haramnya.
Muktazilah adalah golongan yang bergerak dalam tiga
fungsi[7] :agama-filsafat-politik. Nama lain Muktazilah adalah Qadariyah,
Adliyah, atau “Ahlul Adli wat Tauhid” (penganut faham
keadilan dan keesaan Allah).
2. Faham Jabariyah
Faham ini sangat bertolak belakang dengan faham sebelumnya.
Mengenai kemunculannya, ada yang berpendapat bahwa faham jabariyah muncul
sebelum adanya Muktazilah[8]. Orang pertama yang memelopori faham “Jabariyah”
adalah Jahmu bin Sofyan[9]. Ia berkata bahwa manusia itu tidak memiliki
kekuasaan untuk memilih. Ia harus pasrah. Ia tidak mengerjakan sesuatu selain
apa yang telah ditentukan, dan bahwa Allah telah menakdirkan amal perbuatan
manusia yang harus dikerjakan sebagaimana Allah telah menciptakan benda-benda.
Ia tidak ubahnya seperti air yang mengalir, angin yang berhembus, batu yang
jatuh (tertarik gaya grafitasi). Manusia melakukan sesuatu apapun sesuai dengan
apa yang telah ditetapkan oleh Allah (ia hanya berfungsi sebagai alat, tidak
lebih dari itu). Oleh karena itu, pahala, siksa dan amal perbuatan tidak lain
adalah hasil dari paksaan. Allah telah menakdirkan terhadap diri seseorang
sesuatu amal perbuatan, misalnya kebaikan, agar orang tersebut mendapat pahala,
dan begitu juga kalau Allah telah menakdirkan seseorang yang lain untuk
melakukan amal perbuatan maksiat, maka orang tersebut telah ditakdirkan akan
mendapat siksa.
Imam Sa’duddin At Taftazany[10] menyebutkan golongan ini
berpendapat bahwa manusia sekali-kali tidak menguasai dirinya dalam setiap
perbuatan, apakah baik atau jahat. Manusia bukan subyek, melainkan hanya
sebagai obyek (kehendak dari luar). Dengan kata lain, manusia dipaksa oleh
kekuatan dari luar dirinya, yakni atas kehendak dan kekuasaan Allah. Ia tidak
mempunyai kebebasan berkehendak (laa hurriyyatul iradah), dan tidak memiliki
kekuasaan untuk berbuat sesuatu.
3. Faham Asy ‘Ariyah (kadang disebut Ahlussunnah)
Mohammad Fuad Fachruddin[11] mengatakan bahwa kemunculan dua
faham di atas, mendorong kalangan ulama Ahlussunnah, seperti Abul Hasan Al
Asy’ari dan Mansur Al Maturidy[12] memberikan jawaban untuk membela aqidah
Islam agar tidak tersesat oleh faham Muktazilah (Qadariyah) maupun Jabariyah.
Walaupun di kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah terbagi dua
golongan, tetapi mereka sepakat bahwa manusia mempunyai (diberi) kebebasan
berkehendak, berkuasa dan berpengetahuan (knowledge), tetapi hanya sampai ujung
tertentu (ada batasnya/dibatasi).
Faham ini berpendapat bahwa sesungguhnya pada diri manusia
ada kehendak berbuat dan ada khasiat yang melahirkan perbuatan. Semua itu diciptakan Allah SWT tatkala
seseorang ‘memulai’ melakukan suatu perbuatan, sampai pada suatu ‘batas’, yang
saat ‘batas’ itulah Allah menentukan, jadi tidaknya perbuatan tersebut. Jadi
ketika seseorang akan/sedang berbuat maksiat atau perbuatan terpuji, maka
ketika itulah Allah menciptakan perbuatan tersebut bagi si hamba. Kesimpulan
itu diambil dari beberapa ayat Al Qur'an, antara lain:
“Mereka itulah penghuni jannah. Mereka kekal di dalamnya
sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al Ahqaf: 14)
“(Dan) Katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Rabb-Mu.
Maka, siapa saja yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman. Dan siapa saja yang
ingin (kafir), biarlah ia kafir...” (QS
Al Kahfi: 29)
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia
mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS Al Baqarah: 286)
Dalam pembahasan ayat-ayat tersebut, faham ini memunculkan
sifat Maha Adil (keadilan) Allah. Mereka mengaitkan sifat Maha Adil itu dengan
dosa dan pahala, atau siksa dan kenikmatan, yang erat kaitannya dengan
perbuatan.
Bagaimana Menyikapi Berbagai Faham Ini ?
Demikianlah, kaum Muslimin terpecah ke dalam tiga golongan
besar ketika mereka membahas amal/perbuatan manusia yang dikaitkan dengan asas
taklif, pahala dan siksa. Terjadinya golongan-golongan tersebut disebabkan
karena mereka menakwilkan beberapa nash
ayat Al Qur'an tentang perbuatan manusia sendiri, juga karena ada nash dari
ayat Al Qur'an yang menurut mereka menunjukan bahwa perbuatan manusia
tergantung kepada kehendak Allah. Golongan pertama dari kalangan Mu’tazilah,
golongan kedua dari golongan Jabbariyah. Namun ada golongan yang berada di
tengah-tengah kedua golongan tersebut, yaitu dari kalangan Ahlussunnah[13].
Dasar Pembahasan Masalah ‘Qadha dan Qadar’
Sesungguhnya, apabila kita meneliti masalah ‘qadha dan
qadar’ (sebagai suatu istilah baru, yang memiliki makna tersendiri) akan kita
dapati bahwa ketelitian pembahasannya menuntut kita untuk mengetahui terlebih
dahulu dasar berdirinya pembahasan ini atau dengan kata lain, apa yang menjadi
dasar pembahasan dalam permasalahan qadha dan qadar ini.
Sesungguhnya, dasar permasalahan ini adalah pertanyaan :
Apakah manusia itu dipaksa untuk melakukan (atau
meninggalkan) suatu perbuatan (baik atau buruk), ataukah ia diberi kebebasan
memilih ?
Inilah yang menjadi dasar pembahasan masalah ‘qadha dan
qadar’, yaitu ‘perbuatan manusia’. Karena ‘perbuatan manusia’ merupakan hal
yang dapat diindera bahkan dapat dirasakan, maka dalil-dalilnyapun bersifat
aqli. Dengan demikian jelaslah permasalahan yang akan dibahas dalam tema ‘qadha
dan qadar’ ini.
Hakikat Perbuatan Manusia dan Kejadian-Kejadian yang Menimpa
Manusia
Sesungguhnya, apabila kita meneliti suatu
perbuatan/kejadian, yang dilakukan atau yang menimpa manusia, akan kita jumpai
bahwasanya manusia itu hidup dan beraktivitas dalam dua jenis perbuatan yaitu :
a. Perbuatan yang
berada di bawah kontrol manusia, yang timbul karena semata-mata pilihan dan
keinginannya sendiri.
b. Perbuatan yang
berada di luar kontrol dan keinginan manusia. Pada bagian ini manusia berbuat
atau terkena perbuatan yang berada di luar kemampuan dan kehendaknya. Manusia
dipaksa menerimanya.
Contoh perbuatan dan kejadian yang pertama mudah diketahui,
semisal, apakah kita mau duduk atau berjalan, makan-minum atau tidak, minum
sirup atau khamir, berbakti atau durhaka kepada orang tua, belajar atau tidak
dan lain-lain. Seluruh perbuatan ini jelas dilakukan atas kesadaran dan
kesukarelaan manusia, tanpa paksaan dari pihak manapun.
Pada jenis perbuatan yang kedua manusia tidak memiliki peran
apapun atas kejadiannya. Manusia dipaksa untuk menerimanya, sukarela maupun
terpaksa, karena memang berada di luar kekuasaan manusia.
Jenis perbuatan dan kejadian-kejadian kedua ini terdiri dari
dua bentuk. Pertama, kejadian yang ditentukan oleh ‘nidzom wujud’
(Sunnatullah/peraturan alami). Misalnya ia lahir dari seorang ibu dengan bentuk
fisik dan warna kulit tertentu, hidup terikat dengan gravitasi bumi, ia tidak
dapat terbang dan bernafas dalam air, dsb.
Kedua, kejadian yang tidak ditentukan oleh ‘nidzom wujud’,
namun tetap berada di luar kekuasaan manusia, seperti seseorang yang terjatuh
dari atas tembok dan menimpa orang lain dan orang yang tertimpa tersebut
meninggal, atau seperti halnya kecelakaan pesawat, kereta api dan mobil
disebabkan karena kerusakan mendadak, baik yang berasal dari manusia atau yang
malah diluar kemampuannya. Meskipun tidak ditentukan oleh ‘nidzom wujud’, akan
tetapi semua kejadian itu tetap terjadi tanpa kehendak manusia dan berada di
luar kekuasaannya.
Segala perbuatan dan kejadian yang berada di luar kontrol
manusia tersebut inilah yang dinamakan qadha (keputusan) Allah. Sebab Allahlah
yang meng-‘qadha’ (memutuskannya). Terlepas apakah hal/keputusan itu menjadi
kebaikan (qadha yang baik) atau keburukan (qadha yang buruk), menurut
penafsiran manusia. Yang jelas, kebaikan/keburukan tersebut bukan menimpa kita
karena adanya ‘hari baik, hari sial, memakai jimat/mantra dsb. Semua itu
diputuskan oleh Allah untuk menimpa kita. Inilah qadha Allah SWT, dan tidak ada
satu makhlukpun yang dapat menentukan hal ini selain Allah semata.
Oleh karena itu seorang hamba tidak akan dihisab atas
terjadinya kejadian-kejadian ini. Meskipun kejadian tersebut mengandung manfaat
atau kerugian, disukai atau dibenci oleh manusia. Manusia tidak akan dihisab
atas kejadian ini, sebab manusia tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian
tersebut, serta tidak tahu menahu mengenai kejadian tersebut, bagaimana hal
tersebut bisa terjadi. Ia pun tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk
menolak atau mendatangkannya. Manusia hanya diwajibkan untuk beriman akan
adanya qadha, dan bahwasannya qadha itu datang dari Allah SWT, bukan dari yang
lain.
Itulah pengertian qadha (dalam pembahasan istilah ‘qadha dan
qadar’ yang digabungkan ini). Sedangkan untuk memahami pengertian qadar, dapat
disimak dari uraian berikut ini:
Memahami Makna Qadar
Bahwasanya segala perbuatan dan kejadian, baik jenis yang
pertama maupun yang kedua, semuanya terjadi dari benda menimpa (terhadap
benda), baik benda itu termasuk dalam unsur alam semesta, manusia maupun
kehidupan. Misalnya, peristiwa tabrakan antara mobil (benda, bersifat keras)
dengan manusia, kebakaran, antara api dengan benda lain, dsb.
Sesungguhnya, Allah SWT juga telah menciptakan benda-benda
tersebut beserta khasiat-khasiat/karakteristik (sifat-sifat) tertentu pada
benda-benda tersebut. Contohnya saja di dalam api diciptakan ‘khasiat’
membakar. Dalam kayu terdapat ‘khasiat’ terbakar. Dalam pisau (benda tajam)
terdapat khasiat memotong, demikian seterusnya. Pada manusia ada rasa lapar,
haus dll. Juga ada gharizah/naluri, seperti naluri seksual, mempertahankan
diri, beragama, dsb.
Allah SWT telah menjadikan khasiat-khasiat itu tunduk sesuai
dengan ‘nidzom wujud’ yang tidak bisa dilanggar lagi. Bila suatu waktu tampak
khasiat ini melanggar ‘nidzom wujud’, hal ini karena Allah SWT telah menarik
khasiat tadi. Hal ini merupakan sesuatu yang berada di luar kebiasaan, yang
hanya terjadi bagi para nabi dan menjadi mukjizat bagi mereka.
Seluruh khasiat yang diciptakan oleh Allah ini, baik yang
terdapat pada benda-benda ataupun yang terdapat pada manusia (gharizah serta
kebutuhan jasmani), inilah yang dinamakan qadar (penetapan batasan/kadar).
Sebab hanya Allah sendiri yang menciptakan benda-benda, gharizah-gharizah serta
kebutuhan jasmani tersebut. Dan Ia menetapkan khasiat-khasiat di dalamnya.
Khasiat-khasiat ini tidak datang dengan sendirinya dari unsur-unsur tersebut
--seperti pernyataan orang-orang atheis(materialis).
Dalam masalah ini, manusia sama sekali tidak memiliki andil
atau pengaruh apapun. Ia hanya diwajibkan untuk mengimani bahwa yang menetapkan
khasiat-khasiat dalam benda-benda tersebut hanyalah Allah SWT.
Perlu dipahami bahwa seluruh khasiat ini memiliki
‘qabiliyyah’ (tendensi/ kecenderungan) untuk digunakan oleh manusia guna
berbuat suatu amal perbuatan. Apakah perbuatan itu berupa kebaikan ataukah
keburukan. Apabila digunakan sesuai dengan perintah Allah, perbuatan tersebut
berarti perbuatan ‘baik’. Sedangkan apabila digunakan untuk melanggar aturan
Allah SWT, berarti ia telah berbuat ‘jahat’. Baik ia melakukan perbuatannya itu
dengan menggunakan khasiat-khasiat yang ada pada benda, atau dengan memenuhi
panggilan gharizah dan kebutuhan jasmaninya.
Makna Iman kepada Qadha - Qadar, Baik-buruknya dari Allah
SWT
Dengan demikian, perbuatan atau kejadian yang berada di luar
kontrol dan kemauan manusia, datangnya dari Allah, apakah baik atau buruk. Dan
khasiat-khasiat yang ada pada benda-benda, gharizah-gharizah serta kebutuhan
jasmani juga datangnya dari Allah, baik hal itu bisa menghasilkan kebaikan
ataupun keburukan. Oleh karena itu wajib bagi seorang muslim untuk beriman
kepada qadha, baik dan buruknya dari Allah SWT.
Dengan kata lain meng’itiqadkan bahwasanya perbuatan dan
kejadian yang berada di luar kekuasaannya adalah dari Allah SWT. Dan wajib pula
bagi seorang muslim untuk beriman kepada qadar, baik dan buruknya dari Allah
SWT. Baik khasiat-khasiat tersebut dapat menghasilkan kebaikan ataupun
keburukan. Manusia sebagai makhluk tidak mempunyai pengaruh apapun dalam hal
ini. Misalnya terhadap ajalnya, rizkinya dan dirinya, kecenderungan seksualnya
yang terdapat pada gharizatun nau’, atau rasa lapar dan haus yang terdapat pada
kebutuhan jasmaninya. Hal ini semuanya datang dari Allah SWT semata.
Amal Manusia yang Akan Dihisab
Demikianlah pembahasan yang berkaitan dengan perbuatan dan
kejadian yang terjadi di luar kontrol dan kemauan manusia. Adapun pada
perbuatan dan kejadian yang berada di bawah kontrol dan kemauan manusia maka
pada wilayah ini manusia berjalan ‘secara sukarela’ di atas ‘nidzom’
(peraturan) yang dipilihnya, baik itu syari’at Allah atau syari’at yang
lainnya. Pada bagian inilah terjadi kejadian dan perbuatan yang berasal atau
menimpa manusia disebabkan kehendaknya sendiri. Ia berjalan, makan, minum, dan
bepergian kapan saja dikehendakinya. Ia membakar dengan api dan memotong dengan
pisau apa saja yang dikehendakinya. Dan ia memuaskan keinginan seksualnya atau
keinginan memiliki barang, ataupun keinginan perutnya dengan cara apapun yang
ia kehendaki. Ia ‘melakukannya’ dengan sukarela sebagaimana ia ‘tidak
melakukannya’ juga dengan sukarela, karena itulah ia akan ditanya atas
perbuatan-perbuatannya di dalam bagian ini.
Bila terjadi suatu perbuatan atau kejadian, bukan ‘qadar’
ini yang melakukan perbuatan, melainkan manusialah yang melakukan perbuatan
dengan memanfaatkan khasiat tadi. Dorongan seksual yang terdapat pada
gharizatun nau’ memang mempunyai ‘qabiliah’ (kecenderungan) untuk kebaikan atau
keburukan, namun manusialah yang menggunakan sesuai dengan pilihannya.
Hal ini karena Allah SWT telah menciptakan akal bagi manusia
yang mampu membedakan. Di dalam tabi’at akal ini diciptakan kemampuan memahami
serta membeda-bedakan; mana yang baik (taqwa), dan mana yang buruk, sebagaimana
firman-Nya:
”(Dan) Ia pun memberinya ilham akan mana yang buruk danmana
yang taqwa.” (QS As Syams: 8)
Dan disisi lain, Allah telah menunjukan kepada manusia jalan
baik dan buruk.
”Telah Kami tunjukan padanya dua jalan.” (QS Al Balad: 10)
Maka apabila manusia memuaskan panggilan gharizah dan
kebutuhan jasmaninya sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT berarti ia
telah melakukan kebaikan dan berjalan di atas jalan taqwa. Akan tetapi apabila
ia memenuhi panggilan gharizah dan kebutuhan jasmaninya seraya berpaling dari
perintah Allah dan larangan-Nya berarti ia telah melakukan perbuatan buruk dan
berjalan di atas jalan kejahatan. Berdasar hal inilah manusia dihisab atas
perbuatan-perbuatan yang berada pada kontrolnya. Kemudian diberi pahala dan dosa
tergantung pada perbuatannya. Sebab ia melakukan secara sukarela tanpa ada
paksaan sedikitpun (qadar Allah pada benda dan manusia tidak pernah ‘memaksa’
manusia untuk berbuat sesuatu).
Allah menjadikan akal sebagai sandaran (manath) pembebanan
kewajiban syari’at. Karenanya Allah menyediakan pahala bagi perbuatan baik,
sebab akalnya telah memilih untuk menjalani perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya. Sedangkan untuk perbuatan jahat, manusia disediakan siksaan,
sebab akalnya telah memilih untuk melanggar perintah dan larangan Allah.
Sebagaimana firman-Nya :
“Setiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah
diperbuatnya.” (QS Al Mudatsir: 38)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar