BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Empat belas abad yang lalu Nabi Muhammad SAW di utus di muka bumi ini sebagai
Rasul umat manusia seluruhnya. Dan pada beliau juga Al-Qur’an diturunkan di
muka bumi ini sebagai rahmatan lil ‘alamin. Lantas, kita sebagai orang yang
mengimani Al-Qur’an tentu harus mengamalkan apa yang diperintahkan dalam
Al-Qur’an dan menjauhi apa yang dilarangnya. Namun seiring berjalannya waktu,
para ulama yang sebagai pewaris nabi pun banyak berbeda pendapat tentang
pemahaman isi Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Salah satu yang diperdebatkan di
kalangan ulama itu adalah tentang masalah ‘Amm dan Khash.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mempelajari tentang ‘Amm dan Khash
2. Mendapatkan pemahaman tentang ‘Amm dan Khash
3. Untuk memenuhi tugas Ushul Fiqh
BAB II
PEMBAHASAN
‘AMM DAN KHOS SERTA PERMASALAHANNYA
A. Pengertian
1. Pengertian ‘Amm
a. Menurut Bahasa (Etimologi)
‘Amm menurut bahasa bahasa adalah : شُمُوْلُ أَمْرٍ لِمُتَعَدِّدٍ artinya : Mencakup sesuatu yang berbilang-bilang (tidak terbatas).
b. Menurut Istilah (Terminologi)
Sedangkan ‘Amm menurut istilah adalah :
اللَّفْظُ الْمُسْتَغْرِقُ لِجَمِيْعِ مَا يَصْلُحُ لَهُ بِحَسَبِ وَضْعٍ وَاحِدٍ دَفْعَةً.
Artinya : Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dengan satu kata sekaligus. Contohnya kata الرِّجَالُ yang berarti kaum laki-laki. Maka semua laki-laki di dunia ini masuk dalam kata الرِّجَالُ . Sebagai contoh firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat: 34 yang menerangkan tentang kedudukan kaum laki-laki atas kaum perempuan:
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭽ النساء: ٣٤
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).”
(Q.S.Annisa: 34)
Yang dimaksud laki-laki di sini bukan hanya laki-laki Arab atau laki-laki yang beragama islam saja, tapi semua laki-laki yang ada di muka bumi ini.
c. Menurut para ulama
Para ulama Ushul Fiqh memberikan definisi/pengertian ‘Amm yang berbeda-beda, akan tetapi pada hakekatnya definisi tersebut mempunya pengertian yang sama. Para ulama itu antara lain sebagai berikut:
1) Menurut Ulama Hanafiyah:
كُلُّ لَفْظٍ يَنْتَظِمُ جَمْعًا سَوَاءٌ أَكَانَ بِاللَّفْظِ أَوْ بِالْمَعْنَى.
“Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna.”
2) Menurut ulama Syafi’iyah, diantaranya Al-Ghazali:
اللَّفْظُ الْوَاحِدُ الدَّالُ مِنْ جِهَةٍ وَاحِدَةٍ عَلَى شَيْئَيْنِ فَصَاعِدًا.
“Satu lafazh yang dari satu segi menunjukan dua makna atau lebih.”
3) Menurut Al-Bazdawi:
اللَّفْظُ الْمُسْتَغْرِقُ جَمِيْعَ مَا يَصْلُحُ لَهُ بِوَضْعٍ وَاحِدٍ.
“Lafazh yang mencangkup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dengan satu kata.”
2. Pengertian Khash
Para ulama Ushul berbeda pendapat dalam memberikan definisi khash. Namun, pada hakekatnya definisi tersebut mempunyai pengertian yang sama. Definisi yang dapat dikemukakan di sini antara lain:
هو اللَّفْظُ الْمَوْضُوْعُ لِمَعْنَى وَاحِدٍ مَعْلُوْمٍ عَلَى اْلاِنْفِرَادِ.
“Suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui dan manunggal.”
Sedangkan menurut Al-Bazdawi, definisi Khash adalah:
كُلّ ُلَفْظٍ وُضِعَ لِمَعْنَى وَاحِدٍ عَلَى اْلاِنْفِرَادِ وَانْقِطَاعِ اْلمُشَارَكَةِ.
“Setiap lafazh yang dipaksakan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).”
Dengan definisi di atas, ia akan mengeluarkan lafazh mutlaq dan musytarak dari bagian lafazh khash, dan bukan pula bagian dari lafazh ‘am. Pendapat ini dipegang pula oleh sebagian ulama Syafi’iyah.
Cara penunjukan lafazh atas satu arti ini bisa dalam berbagai bentuk, yaitu bentuk genius, seperti lafazh insanun dipasangkan pada hewan yang berpikir, atau berbentuk spesies (nau’un), seperti kata laki-laki dan wanita, atau berbentuk individual yang berbeda-beda tetapi terbatas, seperti bilangan angka-angka (3, 5, 100, dan seterusnya).
B. Pembahasan ‘Amm
a. Dilalah lafazh ‘Amm
Para ulama sepakat bahwa lafazh ‘amm yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukan penolakan adanya takhsis adalah qath’i dilalah. Mereka pun sepakat bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula. Yang menjadi perdebatan pendapat di sini ialah lafazh ‘amm yang muthlaq tanpa disertai suatu qarinah yang menolak kemungkinan adanya takhsis, atau tetap berlaku umum mencakup satuan-satuannya.
Menurut Hanafiah dilalah ‘amm itu qath’i, yang dimaksud qath’i menurut Hanafiyah ialah:
لاَ يَحْتَمِلُ اِحْتِمَالاً نَاشِئًا عَنْ دَلِيْلٍ.
“Tidak mencakup suatu kandungan yang menimbulkan suatu dalil.”
Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan takhsis sama sekali. Oleh karena itu, untuk menetapkan ke-qathi-an lafazh ‘amm, pada mulanya tidak boleh di-takhsis sebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takhsis, maka dilalah-nya zhanni.
Mereka beralasan, sesungguhnya suatu lafazh apabila dipasangkan (di-wadhakan-kan) pada suatu makna, maka makna itu berketetapan yang pasti, sampai ada dalil yang mengubahnya, lebih tegas lagi mereka mengatakan:
اِنَّ لَفْظَ اْلعَامِ مَوْضُوْعٌ حَقِيْقَةً لاِسْتِغْرَاقِ جَمِيْعِ مَا يَصْدُقُ عَلَيْهِ مَعْنَاهُ مِنَ اْلأَفْرَادِ وَاللَّفْظِ حِيْنَ اِطْلاَقِهِ يَدُلُّ عَلىَ مَعْنَاهُ الْحَقِيْقِيِّ قَطْعًا, فَالْعَامُ اْلمُطْلَقُ عَنْ قَرِيْنَةٍ تَخَصِّصُهُ يَدُلُّ عَلىَ اْلعُمُوْمِ قَطْعًا وَلاَ يَنْصَرِفُ عَنْ مَعْنَاهُ اْلحَقِيْقِيُّ اِلاَّ بِدَلِيْلٍ.
“Sesungguhnya lafazh ‘amm merupakan suatu hakikat, karena kosong dari segala yang menunjukan satu (makna khusus). Dan suatu lafazh, jika dalam keadaan mutlak. Begitu pula lafazh ‘amm yang mutlak dari suatu indikasi tentang kekhususannya menunjukkan pada makna umum, dan tidaklah berubah dari maknanya yang hakiki, kecuali dengan dalil.”
Menurut Jumhur Ulama, (Maliki, Syafi’iyyah, dan Hanabilah), dilalah ‘amm adalah zhanni. Mereka beralasan, dilalah ‘amm itu termasuk bagian dilalah zahir, yang mempunyai kemungkinan di-takhsis. Dan kemungkinan ini pada lafazh ‘amm banyak sekali. Selama kemungkinan tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan menyatakan bahwa dilalah-nya qath’i. sehubungan dengan hal itu, Ibnu Abbas berkata:
لَيْسَ فِى اْلقُرْآنِ عَامٌ اِلاَّ وَخُصِّصَ اِلاَّ قَوْلُهُ تَعَالىَ : وَالله ُبِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٍ
“Dalam Al-Qur’an semua lafazh umum itu ada takhsisnya, kecuali firman Allah SWT., “Dan Hanya Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.”
Oleh karena itu, mereka mengeluarkan suatu kaidah yang berbunyi:
مَا مِنْ عَامٍ اِلاَّ وَقَدْ خُصِّصَ.
“Tidaklah ada (lafazh) yang umum keculi sudah ditakhsis.”
Ulama Hanafiyah membantah alasan Jumhur, “Kemungkinan itu tidak dapat dibenarkan, sebab timbulnya dari ucapan pembicara (mutakallimin), bukan dari dalil.”
Dari kedua sikap ulama tersebut, timbul masalah lain yang menjadi prinsip bagi mereka masing-masing. Masalah ini mempunyai dampak yang sangat besar pada perbedaan pendapat di antara mereka dalam beberapa masalah, yaitu antara lain:
a. Apakah boleh lafazh ‘amm yang qath’I tersebut di-takhsis oleh dalil zhanni?
b. Apabila ada suatu nash yang menggunakan lafazh ‘amm di suatu tempat dan di tempat lain menggunakan lafazh khash, yang satu sama lainnya saling bertentangan. Apakah hal ini bisa dikatakan sebagai ta’arrud (saling bertentangan)?
Pada masalah pertama, menurut Asy-Syafi’iah dan Ahmad, apabila bertentangan antara lafazh khash yang terdapat pada khabar ahad dengan lafazh ‘amm Al-Qur’an, maka khabar ahad itu dapat men-takhsis lafazh ‘Amm Al-Qur’an. Sekalipun lafazh ‘amm Al-Qur’an itu qath’i subut-nya, dilalah-nya zhanni. Sebaliknya, khash khabar ahad sungguhpun zhanni subut-nya, tetapi qath’i dilalah-nya. Menurut pendapat ini, As-Sunah dipandang sebagai penjelasan terhadap Al-Qur’an, walaupun khabar ahad.
Menurut Hanafiyah khabar ahad tidak dapat men-takhsis Al-Qur’an kecuali lafazh ‘amm Al-Qur’an itu sebelumnya telah terkena taksis. Mereka memandang bahwa dilalah ‘amm itu qath’i, seperti yang telah diuraikan di muka, dan takhsis bukanlah merupakan suatu penjelasan, melainkan pembatasan pemakaian sebagian satuan lafazh ‘amm. Mereka menetapkan bahwa pada lafazh ‘amm itu, kehendak makna umumnya jelas, tegas dan tidak memerlukan penjelasan. Oleh sebab itu, Hanafiyah tidak mewajibkan tertib dalam berwudhu, karena ayat mengenai wudhu, yaitu surat Al-Maidah ayat 6 sudah cukup jelas dan tegas tidak memerintahkan tertibnya berwudhu. Sedangkan Jumhur ulama mewajibkan tertib dalam berwudhu karena berdasar hadis yang berbunyi:
لاَ يَقْبَلُ الله ُصَلاَةَ امْرِئٍ حَتىَّ يَضَعَ الطَّهُوْرَ مَوَاضِعَهُ فَلْيَغْسِلْ وَجْهَهُ ثُمَّ يَدَيْهِ.
“Allah tidak menerima shalat seseorang sehingga ia bersuci sesuai tempatnya (tertib pelaksanaannya), maka hendaklah ia membasuh wajahnya kemudian dua tangannya.”
Hadis ini menunjukkan keharusan tertib dalam berwudhu. Hanafiyah memandang tertib itu hanya sunah mu’akkadah saja (Abu Zahrah: 159)
Lain halnya Imam Malik, sungguhpun memandang bahwa lafazh ‘amm Al-Qur’an adalah zhanni, ia tidak selamanya menjadikan khabar Ahad dapat men-takhsis lafazh ‘amm Al-Qur’an. Ia kadang-kadang berpegang pada lafazh ‘amm Al-Qur’an dan meninggalkan khabar ahad, namun kadang-kadang men-takhsis lafazh ‘amm Al-Qur’an dengan khabar ahad.
Misalnya firman Allah SWT.:
وَاَحَلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَالِكَ.
“Dan Allah menghalalkan (menikah) selain itu (yang telah disebutkan).”
Ditakhsis dengan hadis:
لاَ تُنْكَحُ اْلمَرْأَةُ عَلىَ عَمَّتِهَا وَلاَ خَالَتِهَا.
“Wanita yang dilarang dinikahi adalah bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibu.”
Menurut Imam Malik, khabar ahad yang dapat men-takhsis lafazh ‘amm Al-Qur’an ialah khabar ahad yang didukung oleh perbuatan penduduk Madinah atau dengan qiyas.
Diantara masalah furu’ yang diperselisihkan akibat perbedaan prinsip di atas ialah halal tidaknya memakan binatang hasil sembelihan tanpa memakai bismillah.
Menurut Hanafiyah sembelihan tanpa disertai dengna ucapan bismillah tidak halal dimakan, mereka berpegang pada ayat:
ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉﮊ ﮖ الأنعام: ١٢١
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.”
Mereka tidak mau men-takhsis-nya dengah hadis Rasul yang berbunyi:
اْلمُسْلِمُ يَذْبَحُ عَلىَ اسْمِ ا للهِ سُمِّيَ اَوْ لَمْ يُسَمَّ. ( رواه ابوداود )
“Seorang muslim menyembelih dengan menyebut bismillah, sebutlah (ucapkanlah bismillah) atau tidak.” (H.R. Abu Dawud)
Sebab hadis ini zhanni wurudnya sekalipun qath’i dilalahnya.
Adapun maslah yang kedua, yaitu: ta’arudul al-‘am wa al-khash (pertentangan antara ‘amm dan khash). Menurut Hanafiyah, apabila lafazh ‘amm dan khash itu berbarengan waktu turunnya, maka lafazh khash dapat mentakhsis lafazh ‘amm. Dan apabila berbeda waktu, maka berlaku konsep nasakh dan mansukh.
Menurut Jumhur, hal tersebut tidak bisa dikatakan ta’arud, sebab fungsi lafazh khash di sini sebagai penjelasan terhadap ‘amm, seperti nisab zakat hasil bumi. Menurut Jumhur ulama, nisab zakat hasil bumi adalah lima ausaq, berdasarkan atas hadis:
لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسَةِ اَوْسُقٍ صَدَقَةٌ. ( رواه البخارى ومسلم )
“Tidak ada zakat bagi yang kurang dari lima ausaq.” (H.R.Bukhari dan Muslim)
Hadis ini dijadikan pentaksis terhadap hadis:
فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَاْلعُيُوْنَ اَوْ كَانَ عَثْرِيًّا اْلعُشُرُ فِيْمَا سَقَى بِالنُّصْخِ نِصْفُ اْلعُشْرِ.
( رواه البخارى واصحاب السنن )
“Zakat hasil bumi yang diari sumber air atau air hujan adalah 10%, sedangkan zakat yang diari irigasi adalah 5%.
(H.R.Al-Bukhari dan Ashhabu Sunan)
Menurut Hanafiyah, zakat hasil bumi diwajibkan tanpa harus ada nisab, baik sedikit ataupun banyak, tetap wajib dizakati. Mereka berpegang pada hadis yang kedua yang bersifat ‘amm. Sedangkan pada hadis yang khusus, yaitu hadis pertama, mereka menakwilkannya, dan menyatakan bahwa hadis tersebut berlaku pada zakat perdagangan. Mereka berpendapat bahwa lima ausaq itu senilai dengan dua ratus dirham.
C. Pembahasan Khash
1. Hukum Lafazh Khash
Lafazh yang terdapat pada nash syara’ menunjukan satu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Dengan demikian, apabila ada suatu kemungkinan arti lain yang tidak berdasar pada dalil, maka ke-qath’-ian dilalah-nya tidak terpengaruhi.
Oleh karena itu, apabila lafazh khash dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafazh itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlaq, selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada makna yang lain. Demikian juga apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan faedah berupa hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkannya dari hal itu.
Atas dasar itu, maka kata salasatin pada firman Allah SWT yang berbunyi:
ﰃ ﰄ ﰅ ﰆ ﰇ ﰈ ﰣ البقرة: ١٩٦
Mengandung pengertian khash, yang tidak mungkin mengandung arti kurang atau lebih makna yang dikehendaki oleh lafazh itu sendiri, yaitu tiga. Oleh karena itu, dilalah makna-nya adalah qatiyah.
Demikian juga kata nisfu pada firman Allah yang berbunyi:
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ....
Mengandung arti khash yang kandungannya tidak mungkin berarti selain arti tertentu yang ditunjukan lafazh-nya itu sendiri, yaitu setengah.
Kedua contoh di atas, termasuk lafazh-lafazh khash, sehingga kehujjahannya terdapat pada arti yang diperuntukkan baginya yang bersifat qath’iyah, karena tidak ada dalil yang memalingkan dari masalah haqiqi-nya. Selain itu juga lafazh nar dalam firman Allah SWT. Yang berbunyi:
يَا نَارُكُوْنِى بَرْدًا وَسَلاَمًا...
Adalah lafazh khash yang sudah dikenal yang berarti api (an-nar) yang sebenarnya, dan mengandaikan bahwa makna yang dimaksud bukanlah makna itu, tanpa adanya dalil, maka yang demikian itu tidak berpengaruh sedikitpun terhadap ke-qath’i-an makna yang termasuk dalam lafazh tersebut.
Terhadap kemungkinan adanya takwil dalam lafazh khash, para pengikut mazhab Hanafi telah memalingkan arti lafazh khash tersebut dari maknanya yang hakiki dalam beberapa nash karena adanya qarinah yang mengharuskan pemalingan artinya yang hakiki, dan karena adanya maksud untuk memberi makna yang lain melalui maksud yang terkandung dalam dalil tersebut. Lafazh syat, dalam sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
فِى كُلِّ أَرْبَعِيْنَ شَاةً شَاةٌ.
Merupakan lafazh khash. Para ulama Hanafiyah menakwilkannya dengan arti yang lebih umum yang mencakup arti syat itu sendiri berikut harganya.
Berdasarkan itu, maka hadis tersebut memberikan arti khusus dalam menentukan nishab yang dikenai zakat dari empat puluh kambing, yaitu satu ekor kambing, tidak kurang dan tidak lebih.
2. Perbedaan Pendapat Akibat Keqath’ian Dilalah Khash
Para ulama sepakat bahwa dilalah lafazh khash adalah qath’i. namun, mereka berbeda pendapat dalam sifat ke-qath’i-annya itu, apakah lafazh khash yang dipandang qath’i dilalah-nya itu sudah jelas dengan sendirinya, sehingga tidak mempunyai kemungkinan penjelasan lain atau perubahan makna, ataukah sekalipun lafazh khash itu qath’i dilalah-nya, tetapi kemungkinan mempunyai perubahan dan penjelasan yang lain.
Golongan Hanafiyah mengambil pendapat pertama. Mereka menyatakan, “Sesungguhnya lafazh khash sepanjang telah memiliki arti secara tersendiri, berarti ia sudah jelas dan tegas dengan ketentuan lafazh-lafazh itu sendiri. Seandainya lafazh itu masih mempunyai kemungkinan perubahan dengan penjelasan yang lain, pasti keadaan penjelasannya itu menetapkan yang sudah tetap atau menolak yang sudah tertolak. Sedangkan keduanya ini tidak bisa diterima.
Dari sikapnya ini dapat ditarik kesimpulan pokok, yaitu:
a. Mereka menetapkan bahwa lafazh khash itu tidak memerlukan penjelasan lain, sehingga dalam mengambil hukum dari satu dilalah khash, mereka tidak mengambil hadis-hadis yang berhubungan dengan penjelasannya. Karena menurut mereka, dilalah khasas itu tidak memerlukan penjelasan lain.
b. Karena mereka menyatakan bahwa lafazh khash Al-Qur’an itu qath’i dilalah-nya dan tidak memerlukan penjelasan (bayan), maka setiap perubahan hukum dengan nash yang lain dipandang sebagai penghapusan hukum, bukan penjelasan. Oleh sebab itu, nasikh (penghapus hukum) harus sama kekuatan dilalah-nya dengan nash yang dihapus dilalah-nya (mansukh).
Dengan demikian, apabila tidak sama kekuatan dilalahnya, maka tidak bisa diterima. Konsekuensinya lafazh khash yang qath’i itu tidak bisa dihapus (dinasakh) dengan hadis ahad.
Golongan Jumhur ulama, antara lain Safi’iyyah dan Malikiyyah mengambil pendapat yang menyatakan bahwa sekalipun lafazh khash itu dilalahnya qath’i. namun tetap mempunyai kemungkinan perubahan makna soal wadha-nya (asal pemasangannya), sehingga apabila terdapat nash yang mengubah dilalahnya khash itu. Dari sikap ini terdapat dua kesimpulan yang berbeda dengan pendapat pertama, yaitu:
a. Nash Khash menerima penjelasan dan perubahan
b. Lafazh khash Al-Qur’an menurut pandangannya tetap menerima penjelasan dan perubahan. Maka ia pandang sebagai lafazh mujmal. Oleh sebab itu, lafazh khash mungkin saja berubah melalui penjelasan. Sungguhpun penjelasan itu kekuatan dilalahnya dari segi tsabut lebih rendah dari kekuatan khash itu sendiri, seperti hadis ahad.
Perbedaan pendapat para ulama tentang kedudukan dilalah khash tersebut berpengaruh terhadap beberapa masalah fiqih, misalnya, pengertian ruku’ pada ayat:
وَارْكَعُوْا مَعَ الرَّاكِعِيْنَ.
“Rukuklah bersama orang-orang yang ruku.”
Ulama Hanafiyah memandang bahwa ruku’ dalam shalat itu sebagaimana lafazh khash untuk suatu perbuatan yang ma’lum; yaitu condong dan berdiri tegak. Mereka menyatakan sesungguhnya ruku’ yang diperintahkan pada ayat itu dan merupakan bagian fardu shalat adalah condong dan berdiri tegak tanpa tuma’ninah.
Adapun hadis yang memerintahkan keharusan tuma’ninah adalah:
قُمْ فَصَلِّ لِأَنَّكَ لَمْ تُصَلِّ.
“Berdirilah dan shalatlah karena engkau belum shalat.”
Tuma’ninah itu bukan syarat sah shalat. Menurut mereka, seandainya tuma’ninah itu syarat sah shalat, berarti merupakan penambahan atas lafazh khash Al-Qur’an yang jelas. Dengan sendirinya, hal itu termasuk penambahan khabar ahad. Dan berarti sebagai nasakh, sedangkan nasikh (penghapus) harus sama kekuatan dilalahnya dari segi wurud dengan mansukh-nya. Padahal hadis ahad tersebut tidak sama dengan kekuatan khash Al-Qur’an yang qath’i, sehingga mereka tidak mensyaratkan tuma’ninah sebagai syarat ruku’. Dengan kata lain, mereka tidak menjadikan tuma’ninah sebagai fardu. Tegasnya, yang fardu itu rukuknya, bukan tuma’ninahnya.
Golongan Syafi’iyah memandang bahwa lafazh khash itu mempunyai kemungkinan adanya penjelasan atau perubahan, maka dari segi ini mereka memandang lafazh khash itu sebagai lafazh mujmal. Oleh sebab itu mereka menerima kemungkinan adanya penambahan atas lafazh khash yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan hadis ahad yang merupakan penjelasannya. Maka menurut golongan ini, tuma’ninah yang diisyaratkan oleh hadis tersebut merupakan penjelasan terhadap ayat Al-Qur’an dan termasuk fardu dalam ruku’.
3. Macam-Macam Lafadz Khas
Lafazh Khash itu bentuknya banyak, sesuai dengan keadaan dan sifat yang dipakai pada lafazh itu sendiri. Ia kadang-kadang berbentuk muthlaq tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid apapun, kadang-kadang berbentuk muqayyad, yakni dibatasi oleh qayyid, kadang-kadang berbentuk amr (perintah), dan kadang-kadang berbentuk nahy (larangan). Dengan demikian, macam-macam lafazh khash mencakup: muthlaq, muqayyad, amr, dan nahyi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Mesir : Darul Qutiah, 1968.
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : Pustaka Setia, 2007.
Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan fi Ilmi Ushulul Fiqh Muqarrar lishoffi Ar-Rabi’ KMI, Gontor: Darussalam Press, tanpa tahun.
Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan fi Ilmi Ushulul Fiqh Muqarrar lishoffi Al-Khomis KMI, Gontor: Darussalam Press, tanpa tahun.
Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ Awwaliyyah fi Ushul Fiqh wal Qawaidul Fiqhiyyah, Jakarta : Maktabah Sa’diah Putra, tanpa tahun.
‘Amm dan Kho
Puji dan syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT,
Zat maha Rahman, yang telah mewajibkan kepada umat Islam yang beriman
untuk terus menerus mencari ilmu pengetahuan. Shalawat seiring salam semoga
senantiasa dilimpahkan kepada Insan pilihan pembawa kebenaran penegak panji
Tuhan, Nabi Muhammad SAW.Dewasa ini, perkembangan corak kehidupan manusia pada umumnya dan umat islam pada khususnya telah memancing beberapa keputusan hukum yang cenderung dikondisionalkan, atau corak kehidupan itu sendiri yang harus dikondisionalkan dengan produk hukum syara’ yang secara konsep maupun konteks didesain untuk kemashlahatan manusia yang mau mengamalkannya. Terlepas dari hal itu, saat ini kita lihat banyak sekali Mujtahid-mujtahid era modern bermunculan dengan julukan baru “Intelektual Muslim”. Jika kita membandingkan, sepertinya kapasitas dan kapabilitas mereka belum mencapai lima puluh persen para Mujtahid zaman dulu (kalau tidak sama sekali), tetapi mereka telah berani mencetuskan hukum yang kontroversial, bahkan kadang kontradiksi dengan hukum sebelumnya. Tentu bukan sesuatu yang bijak jika kita mengklaim mereka sebagai Mujtahid sesat yang pendapatnya ngelantur tidak karuan, karena pada prinsipnya tujuan mereka adalah untuk kebaikan dan kemashlahatan. Permasalahannya adalah, ketika survai membuktikan bahwa pendapat mereka ngaco dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, apa yang harus kita lakukan,? Barangkali jawabannya adalah diam karena Kita belum mampu bersaing dengan mereka. Betuul?
Memahami redaksi Al-Qur’an dan Al-Hadits bagaikan menyelam ke dalam samudra yang dalam lagi luas, dibutuhkan kunci, metode dan keilmuan khusus untuk sampai ke sana sehingga kita bisa mengetahui maksud dan tujuan nash al-Qur’an dan Al-Hadits baik dari sudut teks maupun dari aspek makna. Di antara beberapa pembahasan yang berkaitan dengan hal tersebut, ada dua point penting yang keduanya harus diketahui secara mendalam oleh seorang calon Mujtahid. Dua hal itu adalah tentang lafadz ‘am dan lafadz khas serta dalalahnya. Insya Allah dalam makalah sederhana ini keduanya akan dibahas. Namun perlu diketahui bahwa rangkaian kata dan untaian kalimat yang menjelaskan ke dua hal tersebut bukan dari penulis sendiri tetapi hasil transfer dan kutipan dari pendapat beberapa pakar Ushul Fiqh.
Tiada mawar yang tak berduri. Suatu perkara yang sudah selesai akan tampak kekurangannya. Dengan segala kerendahan hati saya mengharap koreksi dari rekan-rekan, terutama dari Dosen pembimbing mata kuliah Ushul Fiqh, bapak Dr. Kasuwi Saiban.
ﺍﻠﻜﺎﺘﺐ
ﺍﻠﺤﻗﻴﺮﻮﺍﻠﺒﻠﻴﺪﻋﺒﺪﺍﻠﺤﻰ
ISTINBATH (PENGAMBILAN HUKUM) SYARI’AT ISLAM
Setiap pengambilan hukum (istinbath) dalam syari’at Islam harus berpijak atas Al-Qur’an al-karim dan sunnah nabi. Dengan demikian, dalil syar’iy ada dua bentuk yaitu; Nash dan Ghoirun Nash (bukan Nash). Dalil-dalil yang tidak termasuk dalam katagori Nash seperti Istihsan dan Qiyas pada dasarnya digali, bersumber dan berpedoman pada Nash. Seorang Mujtahid harus mengetahui prosedur cara penggalian hukum (thuruq al-istinbath) dari Nash. Dalam ilmu ushul fiqh, hal tersebut dibahas dalam metodologi khusus yang tidak akan dijabarkan secara luas di sini.
Cara penggalian hukum dari Nash ada dua macam pendekatan, yaitu:
- pendekatan makna
- pendekatan lafadz
v Penguasaan terhadap makna (pengertian) dari lafadz-lafaz Nash serta konotasinya dari segi khusus dan umum.
v Mengetahui dalalahnya apakah menggunakan manthuq lafdzi atau menggunakan mafhum yang diambil dari konteks kalimat.
v Mengerti batasan-batasan (qoyyid) yang membatasi ibarat-ibarat Nash. Dan lain-lain.[1]
AL-‘AAM DAN AL-KHASH SERTA DALALAHNYA
Konteks Syar’iyyah di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan dua sumber hukum yang redaksinya menetapkan hukum syar’iy. konteks Al-Qur’an dan Al-Hadits tersebut bisa berupa lafadz umum atau khusus. Lafadz yang umum atau al-‘aam, ketetapan hukumnya harus diartikan kepada semua satuannya secara pasti bila di sana tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Jika terdapat dalil yang mengkhususkan maka mengenai arahan hukumnya apakah pasti (qoth’iy) atau dugaan (dzonny), terdapat perbedaan pendapat ulama, yaitu antara golongan Ulama Jumhur (Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanbaliyyah) dan Hanafiyyah. Pembahasan tentang dalil takhsis (yang menghususkan) lafadz ‘am insya Allah akan diuraikan dalam bab Takhsis.
Nash Al-Qur’an dan Al-Hadits juga ada yang berupa lafadz khusus (khosh), maka hukum bisa ditetapkan secara pasti selama tidak ada dalil yang mentakwilkan atau memindahkan dan menghendaki arti yang lain. Dalam lafadz khosh ini terdapat lafadz mutlak yang dapat menetapkan hukum secara absolute dengan catatan tidak ada dalil yang mengikatnya. Jika lafadz itu berbentuk perintah (‘amar), maka obyek yang diperintahkannya wajib, atau berbentuk larangan (nahi) maka obyek yang dilarang itu haram. Hal tersebut bila tidak ada dalil yang merubah dari keharusannya atau ketidak bolehannya.
I. AL-‘AAM
I.1.Definisi al-‘aam[2]
Lafadz al-‘aam ialah yang menunjukkan tercakup dan termasuknya semua satuan-satuan yang ada dalam lafadz itu dengan tanpa menghitung ukuran tertentu dari satuan-satuan tersebut. Lafadz ﻤﻥﺃﻠﻗﻰ (barang siapa melemparkan) dalam hadits yang berbunyi:
ﻤﻥ ﺃﻠﻗﻰ ﺴﻶﺣﻪ ﻓﻬﻭﺁ ﻤﻥ adadalah lafadz umum yang dapat menunjukkan tercakupnya setiap orang yang melemparkan senjatanya, tanpa membatasi kepada perseorangan tertentu.
Keumuman termasuk sifat lafadz karena merupakan dalalah lafadz yang di dalamnya tercakup semua satuannya. Apabila lafadz ini hanya menunjukkan satu satuan seperti seorang laki-laki, atau dua satuan seperti seperti dua orang laki-laki, atau kelompok beberapa satuan seperti yang dapat dihitung seperti beberapa laki-laki, sekelompok kaum, seratus atau seribu, maka semua itu bukan termasuk lafadz yang umum.
Terdapat perbedaan antara al-‘Aam dan al-Muthlaq, al-‘Aam menunjukkan tercakupnya semua satuan dari seluruh satuannya, sedangkan al-Muthlaq hanya menunjukkan satuan atau beberapa satuan yang menonjol, bukan kepada semua satuannya. Sebagaimana pendapat para ulama ushul : ﻋﻤﻮﻡﺍﻠﻌﺎﻡ ﺸﻤﻮﻠﻲّ ﻮﻋﻤﻮﻡﺍﻠﻤﻄﻠﻕ ﺒﺩ ﻠﻲّ “keumuman al-‘Aam bersifat menyeluruh dan keumuman al-Muthlaq bersifat resperentif (mewakili). Jadi, lafadz al-“Am dapat memperoleh satuan-satuan di dalamnya sekaligus dan al-Muthlaq hanya memperoleh satuannya yang menonjol.[3]
I.2. Lafadz-lafadz al-‘am
Untuk mengetahui dan menentukan lafadz-lafadz ‘Aam, diperlukan pehaman mendalam terhadap gramatika bahasa arab terutama yang membahas morfologi pararel (shorf) dan sintaksis pararel (nahu). Dari situ akan diketahui maksud dan tujuan nash apakah arahannya umum atau khusus. Oleh karena itu, penting untuk dicatat bahwa mengetahui bahasa arab adalah 50% mengetahui ilmu ushul fiqh. Patutkah orang yang tidak memahami gramatika bahasa arab menjadi mujtahid?
Hasil analisa dan pengkajian terhadap mufrodat dan ungkapan dalam bahasa arab menyimpulkan beberapa lafadz yang arti bahasanya menunjukkan keumuman dan mencakup keseluruhannya. Dari beberapa referensi buku ushul fiqh yang ada, tidak ada perbedaan pendapat mencolok dalam penjelasan lafadz-lafadz al-‘am tersebut. Di bawah ini secara singkat akan dipaparkan pengklasifikasian lafadz-lafadz ‘am yang sering dipergunakan:
- Lafadz-lafadz yang bermakna jamak, seperti;
كلّ : كل امرئ بما كسب رهين
جميع
: خلق لكم ما فى الأرض جميعا
كافّة
: وقاتلواالمشركين كافة كما يقاتلونكم كافة
معاشر
: نحن معاشر
الأنبياء لا نورث
- Lafadz-lafadz jamak atau mufrad yang dima’rifatkan dengan
Al-Jinsiyyah atau idhafah, berikut masing-masing contohnya;
- Ø إنّ الله يغفرالذ نوب جميعا
- Ø يوصكم الله فى أولاد كم
- Ø والسارق والسارقة فاقطعواأيد يهما
- Ø هو الطهور ماؤه الحلّ ميتته
- § Isim nakirah yang dinafikan (dicegah) atau yang disyaratkan,
sperti contoh;
لاإكراه فى الدين
ولا تصلّ على أحد منهم مات أبدا
Isim nakirah yang mutsbat (ditetapkan), tidak mengandung
pengertian umum seperti yang terdapat dalam ayat إنّ الله يأمركم أن
تذبحوابقرة kecuali bila terdapat qorinah (tanda), contohnya لهم
فيها فاكهة ولهم مايدّعون .- § beberapa isim maushul, di antaranya;
ما : وما من دابّة فى الأرض إلا على الله رزقها
من : فمن كان منكم مريضا
الذين : إنّ الذ ين يأكلون أموال اليتامى ظلما
الللائى : واللائى يئسن من المحيض من نسائكم
اللاتى : واللاتى يأتين الفاخشة من نسائكم
أولات : وأولات الأحمال لأجلهنّ أن يضعن حملهن
ّ
- Isim-isim syarat, beberapa di antaranya;
من : من شهد منكم الشهر فليصمه
ما : وما تنفقوا من خير يوفّ اليكم
أي : أيّما تدعو فله الأسماء الحسنى
أينما : أينما تكونوا يدرككم الموت
إن : إن كنتم فى ريب مما نزّلناعلى عبد نا فأتوابسورة من مثله
- Isim isim istifham, sebagaimana dalam contoh-contoh berikut:
من : من فعل هذا بألهتنا يا إبراهيم
ماذ : ماذا أراد الله بهذا مثلا
متى : متى نصر الله
أين : أين ما كنتم تدعون من دون الله
Semua lafadz-lafadz dalam contoh di atas dipergunakan untuk
pengertian yang bersifat umum karena mencakup setiap kesatuan yang ada di
dalamnya, jika ada lafadz ‘am tetapi tidak mengandung sebuah keumuman maka
lafadz itu adalah bentuk aligori (majazi) yang keberadaannya membutuhkan
qorinah. Khusus mengenai permasalahan ini insya Allah akan dibahas secara
panjang lebar dalam makalah selanjutnya tentang Majaz dengan penjelasan
jelas yang menjelaskan sejelas-jelasnya sampai jelas dan tidak membutuhkan
kejelasan yang lebih jelas.I. 3. Al-‘am yang ditakhsis (dikhususkan)
Takhsis adalah mengeluarkan sebagian satuan-satuan yang masuk di dalam lafadz Aam. Mukhassis adalah dalil yang menjadi dasar pegangan untuk adanya pengeluaran tersebut. dengan melihat keterangan di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa dalil Aam tetap berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada sesudah dikeluarkan satuan tertentu yang ditunjukkan oleh mukhassis. Kaidah untuk itu adalah العام بعد التخصيص حجّة فى الباقى “Lafadz Aam setelah ditakhsiskan masih menjadi hujjah (pegangan) bagi satuan-satuan yang terkandung di dalamnya”.
Dalam hal mukhassis nash syar’iy maka antara yang ditakhsiskan dan pentakhsisnya haruslah sederajad seperti Al Qur’an dengan Al Qur’an atau Al Qur’an dengan As sunnah Mutawattirah. Demikian pula As sunnah shahihah dengan As sunnah Shahihah. Namun demikian jumhur ulama membolehkan mentakhsis Al Qur’an dengan As sunnah walaupun ahad, tetapi ulama hanafiah berpendapat hanya As sunnah Mutawattirah atau yang masyhur saja yang boleh mentakhsis Al Qur’an.
Sebagian ulama seperti Hanafiyyah mensyaratkan adanya mukhassis harus muqarinan lil’am (bersamaan dengan Aam). jika tidak, maka namanya nasikh bukan mukhassis, juga harus mustaqil (tersendiri) dari ‘am. Pengkhususan seperti ististna yang datang setelah lafadz ‘am menurut mereka bukan mukhassis, tetapi dalil adanya pembatasan keumuman.
Pendapat ulama Jumhur berbeda dan tidak mensyaratkan dua hal di atas. Jadi, mukhassis bisa berupa dalil mustaqil atau ghoir mustaqil, bersamaan dengan nash ‘am (muqarinan linnasshil ‘am) atau tidak, tetapi semuanya dengan catatan tidak datang setelah pengamalan keumuman, bila datangnya setelah pengamalan namanya nasikh.
Berikut ini pembagian dalil mukhassis menurut ulama Jumhur; Dalil-dalil yang mengkhususkan ada dua macam; Pertama muttashil, yaitu dalil yang keberadaannya bersamaan dengan ‘am, masih ada kaitan makna juga bagian dari ‘am. Kedua dalil munfashil, kebalikan dari yang pertama.
Mukhassis munfashil atau mustaqil (sempurna dengan dirinya sendiri), ada empat macam:
1) Kalimat yang dapat berdiri sendiri dan bersambung dengan kalimat, seperti firman Allah:
(من شهد منكم الشهر فليصمه (البقرة: ١٨٥
Setiap orang yang berada di bulan Ramadhan wajib berpuasa, tetapi di kecualikan orang sakit dan musafir, dengan dalil ayat sesudahnya;
ومن كان مريضا أوعلى سفر فعدّة من أيّام أخر
2) Kalimat yang dapat berdiri
sendiri dan terpisah dengan kalimat itu.Contohnya firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 3 yang menjelaskan keharaman semua bangkai , حرّمت عليكم الميتة. Tetapi dikhususkan bangkai binatang laut, dalil takhsisnya adalah sabda Nabi هوالطهورماؤه الحلّ ميتته
3) Al-‘aqlu (nalar).
Akal bisa di jadikan dalil takhsis pada semua nash yang mengandung tuntutan syar’iyyah. Contohnya perintah mengerjakan shalat dalam ayat أقيمواالصلاة , keumumannya di takhsis oleh akal dengan mengecualikan anak kecil dan orang-orang gendeng. Contoh lainnya الله خالق كلّ شيئ ,كتب عليكم الصيام dan lain-lain.
4) Adat dan uruf.
Point keempat ini adalah menurut madzhab Malikiyyah. contohnya sabda Rasulullah Saw.:
“لاقطع إلاّ فى ربعِ د ينار “ Artinya: “Tidak dikenakan hukum potong tangan kecuali (hasil curian itu sampai) seperempat dinar.
Bagaimana dan berapa harga tukar (kurs) dinar itu bagi Negara-negara yang tidak memakai dinar sebagai alat pembayaran yang sah diserahkan kepada uruf atau adat setempat.
Mukhassis muttashil, dalil yang merupakan bagian dari nash disebut ghair mustaqil (tidak bisa berdiri sendiri). Juga ada empat macam;
1) Ististna, seperti dalam ayat
من كفر بالله من بعد إيمانه إلا من أكره وقلبه مطمئنّ بالإيمان.النحل :
۱•٦
Artinya: “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah ia
beriman (dia pasti mendapat kemurkaan Allah) kecuali orang yang dipaksa kafir
sedangkan hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)2) Kata sifat, seperti Firman Allah:
ومن لم يستطع منكم طولا أن ينكح المحصنات المؤمنات قمن ما ملكت أيمانكم
من فتياتكم المؤمنات. النساء:٢٥
Artinya: Dan barang siapa di antara kamu (orang merdeka)
yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman,
ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. (An
nisa’:25)Lafadz fatayaat adalah Aam yang dapat mencakup yang beriman atau tidak. Dengan diberikan kata sifat al mukminat (yang beriman) maka hamba sahaya yang tidak beriman tidak termasuk lagi.
3) Syarat, sebagaimana Firman Allah:
وبعولتهنّ أحقّ بردّهنّ فى ذ لك إن أرادوا إصلا حا. البقرة: ۲۲۸
Artinya: Dan suami mereka berhak merujuki mereka jika
mereka (suami istri) itu menghendaki islah (Al Baqarah :228)4) Ghoyah, ialah penghabisan sesuatu yang mengharuskan tetapnya hukum bagi perkara-perkara yang disebut sebelumnya sedangkan yang disebut sesudahnya tidak ada hukum tersebut. Lafadz ghoyah adakalanya memakai hatta atau ilaa.
Contohnya Firman Allah Swt.
وما كنّا معذّ بين حتّى نبعث رسولا. الإسراء:
۱٥
Artinya: Dan kami tidak akan mengazab (menyiksa) sehingga
kami mengutus seorang Rasul. (Al Isra’ :15)[4]I. 4. Dalalah al-‘am
Terdapat perbedaan pendapat mengenai karakteristik dalalah al-‘am yang tidak mengkhususkan semua satuannya, apakah pasti atau dugaan. Menurut sebagian ulama ushul –di antaranya Syafi’iyyah- dalalah al-’am tersebut menunjukkan keumuman dan bersifat dugaan, apabila dikhususkan maka sisa satuan al-‘am juga dalalahnya dugaan. Ulama ushul lain, termasuk di dalamnya Hanafiyyah berpendapat bahwa al-‘am yang tidak dikhususkan bersifat pasti sedangkan sisa satuan setelah pengkhususan adalah dzanni (bersifat dugaan).
I. 5. Pembagian al-‘am
Melalui pengkajian terhadap nash-nash, al-‘am dibagi menjadi tiga macam;
1) ‘Am yang secara pasti bermaksud keumuman, sebagaimana firman Allah:
وََمَا مِن دَابَّةٍ فِى الأرضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزقُهَا. (هود :٦
)
Artinya: “Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi
melainkan Allah pasti memberi rizkinya”.2) ‘Am yang secara pasti dimaksudkan sebagai kekhususan. Seperti Firman Allah SWT:
وَلله على الناس حِجُّ البَيتِ. ( ال عمران : ۹۸)
Artinya: “Menunaikan haji ke Baitullah adalah kewajiban
manusia terhadap Allah”.3) ‘Am yang dikhususkan, yaitu al-‘am al-muthlaq yang tidak disertai qorinah yang meniadakan kemungkinan pengkhususannya atau ditiadakan dalalahnya, seperti nash yang di dalamnya terdapat lafadz-lafadz ‘am dan tidak ada qorinah lafadz, akal atau kebiasaan yang bias menentukan kekhususan ataupun keumumannya sehingga keumumannya menjadi khusus sampai ada dalil yang mengkhususkannya, contoh; والمطلقات يتربّصن بأتفسهنّ ثلا ثة قروء[5] “perempuan-perempuan yang dithalaq itu menunggu”. Menurut imam al-Syaukani, al-‘am yang dimaksudkan sebagai kekhususan adalah al-‘am yang ketika diucapkan disertai qorinah yang dapat menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan al-‘am itu ialah khusus bukan umum.5
II. AL-KHASH
II. 1. Definisi al-khash
Lafadz khas adalah lafadz yang menunjukkan perseorangan tertentu seperti “Mushtofa”, satuan jenis seperti “laki-laki”, atau beberapa satuan yang terbatas seperti “seratus, seribu”, dan lafadz-lafadz lain yang menunjukkan beberapa bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup satuan-satuan tersebut. [6]
II. 2. Hukum Khash
Bila ada suatu lafadz khash dalam nash syar’iy maka makna yang khash yang ditunjuk oleh lafadz itu adalah qath’iy (قطعى ) bukan dhonny ( ظنّى) contohnya:
والمطلقات يتربَّصنَ بِأنفسهنّ ثلاثة قروء . البقرة : ۲۲۸
Artinya: “Dan wanita-wanita yang dithalaq suaminya itu
hendaklah menunggu iddah mereka selama tiga kali quru’ (haid atau suci). (Al
Baqarah : 228).Lafadz tsalatsah di situ adalah khash dan maknanya qath’iy.
Seringkali lafadz khash itu terdapat secara mutlak tanpa ada batasan/ikatan apapun dan sering pula terdapat dalam bentuk tuntutan perbuatan. Contoh: إتقو الله (bertakwalah kepada Allah). Seringkali terdapat dalam bentuk larangan perbuatan, seperti ولا تجسّسوا (dan janganlah kamu memata-matai). Jadi dalam lafadz khash itu terdapat lafadz mutlak, ikatan/batasan, perintah dan larangan.
Hukum khash secara global ialah apabila terdapat nash syara’ sedang maknanya yang khusus menunjukkan dalalah secara pasti, maka pada hakikatnya lafadz khash itu dibuat untuk itu dan pengertiannya diambil hukum dengan pasti, tidak dengan dugaan.
Tidak ada pertentangan antara ulama ushul mengenai ketetapan hukum qoth’iy dari lafadz khash.
III. SIMPULAN
Ketetapan hukum Sar’iy yang sudah digariskan oleh Al Qur’an dan As Sunnah harus dipahami dengan sungguh-sungguh, untuk melangkah ke sana diperlukan kemampuan mempuni bagi calon-calon Mujtahid agar tidak terjadi produk hukum yang ngawur dan tidak bisa di pertanggung jawabkan. Mempelajari ilmu ushul fiqh, mendalami dan sekaligus menguasainya adalah salah satu batu loncatan untuk menjadi pencetus hukum yang handal dan diperhitungkan.
Sampai di sini semoga tulisan yang sangat sederhana dan penuh kekurangan ini bisa dimanfa’atkan dan bila terdapat kekeliruan mohon dibetulkan.
[1] Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh,
“Pustaka Ridwan 1999, hal 166
[2] Menurut
Dr. Abdul Karim Zaidan dalam bukunya “al-Wajiz” hal. 305
ﺍﻠﻌﺎﻢ ﻓﻰﺍ ﻠﻠﻐة ﻫﻭﺍﻠﺸﺎ
ﻤﻞﺍﻠﻤﺘﻌﺪّ ﺪ
ﻭﻓﻰﺍﻹﺼﻃﻶﺡ ﻠﻓﻈ ﻳﺴﺘﻐﺮﻕ ﺟﻤﻴﻊ
ﻤﺎ ﻳﺻﻠﺢ ﻠﻪ ٫ﺒﻮﻀﻊ ﻮﺍ ﺤﺪ ﺪ ﻔﻌﺔ ﻮﺍﺤﺪﺓ ﻤﻥ ﻏﻴﺮ ﺣﺻﺮ
Menut Imam Syafi’i dalam kitab al-MustashfaJuz 2 hal 32:
العام عبارة عن اللفظ
الواحد الدال من جهة واحدة على شيئين فصاعدامثل الرجال والمشركين
[3]
Dr. Abdul Wahab Khalaf, Ushul Fiqh, Darul Qolam cetakan ke 12. hal. 181-182.[4] Dr. Abdul Karim Zaidan “Al-Wajiz fi ushulul fiqhi”hlm. 310 – 317. Muassasatur Risalah cetakan ke lima
[5] Prof.Dr. Abdul Wahab Khalaf. “Ushulul fiqhi”hlm. 327-329
[6] Aly Hasbullah. “Ushulut tasyri’ al-islami, hlm. 182
USUL FIQIH (lafad amm dan khos), google.com,
yahoo.co.id
Oleh: Akhmad
Khoirudin
AL KHOS dan TAKHSIS
Ketika kita memahami hukum fiqih perlu adanya pemahaman yang menyeluruh atau objektif terkait sumber-sumber hukum yang berlaku dan yang sudah ditetapkan. Hukum yang berlaku di masyarakat tidak semena-mena bisa dirubah begitu saja sebab sudah menjadi kultur dan tradisi masyarakat dan berlaku bertahun-tahun bahkan sudah menjadi warisan turun temurun. Ketika kita mau merubah hukum adat di suatu daerah maka kita perlu dengan perlahan untuk masuk pada masyarakat dan sedikit-sedikit kita merubah pola pikirnya, seperti halnya yang telah dilakukan oleh nabi Muhamad SAW.
Sedangkan hukum yang sudah di tetapkan (khod'i) yakni bersumber dari Al qur'an dan Al hadist yang sudah jelas tidak bertentangan dan tidak membutuhkan penafsiran lagi. Untuk hokum ini tidak bisa di otak-atik lagi karena sudah mutlak dari Tuhan dan manusia hanya bisa menjalani dan merasionalkan apa-apa yang sudah ditetapakan dan digariskan oleh Tuhan.
Karena sumber hukum berdasar dari Al qur'an dan Al hadist yang mana keduanya menggunakan bahasa arab karena Nabi Muhamad SAW diturunkan di bangsa Arab, untuk itu perlu adanya pemahaman bahasa arab yang cukup sehingga pengambilan hokum tidak memberatkan dan tidak terlalu meringankan atau sederhana sehingga disepelehkan oleh manusianya.
Salah satunya untuk mencapai pemahaman itu yaitu kita harus mengetahui kalimat-kalimat sumber hokum yang bermakna khusus dan umum atau yang sudah khusus tapi perlu di spsifikan lagi. Untuk itu ada yang namanya khos dan takhsis sebagai pemahaman dan pengambilan hokum yang objektif.
Takhsis adalah mengecualikan sebagian dari lafad umum (amm). Seperti halnya ayat perintah haji. Haji diwajibkan bagi seluruh umat muslim tapi di akhir lafad ada pengecualian yakni bagi yang sudah mampu.
Takhsis ada dua macam yakni yang mutasil (langsung) yakni antara lafad yang umum (amm) langsung di sambung dengan lafad yang menaksisnya. Kedua adalah takhsis munfasil (pisah) antara lafad yang dan yang di taksis berpisah (tidak langsung)
Syarat-Syarat istisna' (lafad yang menyifati atau yang menjadi jawaban)
-Mutasil atau langsung jika tidak maka tidak shah
Contohnya ketika dalam akad nikah, yakni ketika wali nikah membacakan akad nikah dan sang pengantin adalah menjawab, sedangkan ketika di putus antara akad dan jawaban maka tidak shah nikahnya.
-Tidak sampai menghabiskan mustasna minhunya (objek dari istisna')
Contohnya, talak tiga kecuali tiga, hutang seribu kecuali seribu
-Tidak mendahului mustasna minhu
Aplikasi dari takhsis :
-Takhsis dibatasi oleh sifat maka yang lain tidak masuk
Contohnya. Syaratnya yang menjadi calon penerima beasiswa adalah mahasiswa kelas A, maka kelas B, C dan yang lain tidak boleh menerima beasiswa.
-Takhsis dengan memberi batasan akhir
Contohnya. Dilarang mendekati istri yang sedang haid maka diperbolehkan ketika istrinya sudah suci.
-Takhsis dengan menyebut badal
Contohnya. Ketika orang tidak mampu berdiri untuk sholat maka boleh dikerjakan dengan duduk.
Macam-macam bentuk takhsis:
-Takhsis kitab dengan kitab
Janganlah kamu menikahi wanita musrik. Surat (Al baqoroh, 221) kemudian di takhsis dengan ayat : orang-orang merdeka dari ahlul kitab. (Al Maidah, 5) Sehingga di sini ada pemaknaan boleh menikahi orang selain islam asalkan masih menjadi ahlul kitab yakni agamanya (nabi Isa)
-Takhsis kitab dengan sunah
Alloh mewasiatkan pada kamu semua bagian anak laki-laki dua kali lipat dari anak perempuan (An nisa', 11) Kemudian di tahksis dengan hadist Bukhori Muslim: Orang kafir tidak bisa mewarisi orang muslim dan orang muslim tidak bisa mewarisi orang kafir.
-Sunah dengan Kitab
Hadist Bukhori Muslim: Alloh tidak akan menerima sholat kalian kecuali dengan wudlu'. Kemudian di takhsis dengan ayat, kecuali bertayamum ( An Nisa' 43)
-Sunah dengan Sunah
Hadist riwayat Bukhori Muslim: Dalam hasil panen yang di airi dengan hujan maka zakatnya adalah satu per sepuluh
(1/10) kemudian di takhsis dengan hadist yang lain: kecuali ketika mencapai satu nisob (94 gram emas).
-Kitab dengan kiyas
Wanita dan laki-laki yang melakukan zinah di cambuk 100x, Alloh mengkhususkan bagi wanita budak yakni separuh atas hukuman wanita merdeka. Maka ketika laki-laki budak yang melakukan zinah, apakah di samakan dengan laki-laki merdeka ataukah di samakan dengan wanita budak??? Dan hal ini di butuhkan yang namanya kiyas.
-Sunah dengan kiyas
Menunda-nunda membayar hutang bagi orang yang mampu maka halal kehormatanya. Kemudian yang menjadi pertanyaan ketika yang hutang itu orang tuanya apakah juga halal kehormatanya makanya butuh yang namanya kiyas.
AL KHOS dan TAKHSIS
Ketika kita memahami hukum fiqih perlu adanya pemahaman yang menyeluruh atau objektif terkait sumber-sumber hukum yang berlaku dan yang sudah ditetapkan. Hukum yang berlaku di masyarakat tidak semena-mena bisa dirubah begitu saja sebab sudah menjadi kultur dan tradisi masyarakat dan berlaku bertahun-tahun bahkan sudah menjadi warisan turun temurun. Ketika kita mau merubah hukum adat di suatu daerah maka kita perlu dengan perlahan untuk masuk pada masyarakat dan sedikit-sedikit kita merubah pola pikirnya, seperti halnya yang telah dilakukan oleh nabi Muhamad SAW.
Sedangkan hukum yang sudah di tetapkan (khod'i) yakni bersumber dari Al qur'an dan Al hadist yang sudah jelas tidak bertentangan dan tidak membutuhkan penafsiran lagi. Untuk hokum ini tidak bisa di otak-atik lagi karena sudah mutlak dari Tuhan dan manusia hanya bisa menjalani dan merasionalkan apa-apa yang sudah ditetapakan dan digariskan oleh Tuhan.
Karena sumber hukum berdasar dari Al qur'an dan Al hadist yang mana keduanya menggunakan bahasa arab karena Nabi Muhamad SAW diturunkan di bangsa Arab, untuk itu perlu adanya pemahaman bahasa arab yang cukup sehingga pengambilan hokum tidak memberatkan dan tidak terlalu meringankan atau sederhana sehingga disepelehkan oleh manusianya.
Salah satunya untuk mencapai pemahaman itu yaitu kita harus mengetahui kalimat-kalimat sumber hokum yang bermakna khusus dan umum atau yang sudah khusus tapi perlu di spsifikan lagi. Untuk itu ada yang namanya khos dan takhsis sebagai pemahaman dan pengambilan hokum yang objektif.
Takhsis adalah mengecualikan sebagian dari lafad umum (amm). Seperti halnya ayat perintah haji. Haji diwajibkan bagi seluruh umat muslim tapi di akhir lafad ada pengecualian yakni bagi yang sudah mampu.
Takhsis ada dua macam yakni yang mutasil (langsung) yakni antara lafad yang umum (amm) langsung di sambung dengan lafad yang menaksisnya. Kedua adalah takhsis munfasil (pisah) antara lafad yang dan yang di taksis berpisah (tidak langsung)
Syarat-Syarat istisna' (lafad yang menyifati atau yang menjadi jawaban)
-Mutasil atau langsung jika tidak maka tidak shah
Contohnya ketika dalam akad nikah, yakni ketika wali nikah membacakan akad nikah dan sang pengantin adalah menjawab, sedangkan ketika di putus antara akad dan jawaban maka tidak shah nikahnya.
-Tidak sampai menghabiskan mustasna minhunya (objek dari istisna')
Contohnya, talak tiga kecuali tiga, hutang seribu kecuali seribu
-Tidak mendahului mustasna minhu
Aplikasi dari takhsis :
-Takhsis dibatasi oleh sifat maka yang lain tidak masuk
Contohnya. Syaratnya yang menjadi calon penerima beasiswa adalah mahasiswa kelas A, maka kelas B, C dan yang lain tidak boleh menerima beasiswa.
-Takhsis dengan memberi batasan akhir
Contohnya. Dilarang mendekati istri yang sedang haid maka diperbolehkan ketika istrinya sudah suci.
-Takhsis dengan menyebut badal
Contohnya. Ketika orang tidak mampu berdiri untuk sholat maka boleh dikerjakan dengan duduk.
Macam-macam bentuk takhsis:
-Takhsis kitab dengan kitab
Janganlah kamu menikahi wanita musrik. Surat (Al baqoroh, 221) kemudian di takhsis dengan ayat : orang-orang merdeka dari ahlul kitab. (Al Maidah, 5) Sehingga di sini ada pemaknaan boleh menikahi orang selain islam asalkan masih menjadi ahlul kitab yakni agamanya (nabi Isa)
-Takhsis kitab dengan sunah
Alloh mewasiatkan pada kamu semua bagian anak laki-laki dua kali lipat dari anak perempuan (An nisa', 11) Kemudian di tahksis dengan hadist Bukhori Muslim: Orang kafir tidak bisa mewarisi orang muslim dan orang muslim tidak bisa mewarisi orang kafir.
-Sunah dengan Kitab
Hadist Bukhori Muslim: Alloh tidak akan menerima sholat kalian kecuali dengan wudlu'. Kemudian di takhsis dengan ayat, kecuali bertayamum ( An Nisa' 43)
-Sunah dengan Sunah
Hadist riwayat Bukhori Muslim: Dalam hasil panen yang di airi dengan hujan maka zakatnya adalah satu per sepuluh
(1/10) kemudian di takhsis dengan hadist yang lain: kecuali ketika mencapai satu nisob (94 gram emas).
-Kitab dengan kiyas
Wanita dan laki-laki yang melakukan zinah di cambuk 100x, Alloh mengkhususkan bagi wanita budak yakni separuh atas hukuman wanita merdeka. Maka ketika laki-laki budak yang melakukan zinah, apakah di samakan dengan laki-laki merdeka ataukah di samakan dengan wanita budak??? Dan hal ini di butuhkan yang namanya kiyas.
-Sunah dengan kiyas
Menunda-nunda membayar hutang bagi orang yang mampu maka halal kehormatanya. Kemudian yang menjadi pertanyaan ketika yang hutang itu orang tuanya apakah juga halal kehormatanya makanya butuh yang namanya kiyas.
Sahabat-sahabat Rasulullah adalah Mukmin Pilihan, Rasulullah
Bersabda:
Generasi paling baik adalah generasi dimana aku diutus
(Shahabat, pent) kemudian generasi selanjutnya (tabiin, pent) kemudian
generasi Selanjutnya (Tabiut tabiin, pent). (Muttafaq alaih)
Siapapun yang pernah melihat Rasulullah adalah sahabat
sebatas ukuran tersebut.
Rasulullah Bersabda:
“Akan berperang sekumpulan tentara, lalu ditanyakan
kepada mereka: Adakah di antara kalian yang merupakan shahabat Rasulullah saw.?
Mereka menjawab: Ya, ada. Lalu mereka diberi kemenangan (mengalahkan musuh).
Kemudian datang lagi sekumpulan tentara yang berperang, lalu ditanyakan
kepada mereka: Adakah di antara kalian orang yang pernah melihat Rasulullah
saw. Mereka menjawab: Ya, ada. Kemudian mereka pun diberi kemenangan.”[2] Kemudian
disebutkan generasi yang ketiga.
Dari sini disimpulkan bahwa hukum melihat rasulullah
disamakan dengan ketetapan sebagai sahabat.
Lafadz Shahabat mengandung makna umum dan khusus,
Sahabat yang masuk dalam makna Khusus (Shahabat khos,
pent) adalah yang memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh sahabat
lainnya dengan sebutan sahabat, mereka bukanlah yang tidak memiliki sebutan
sahabat secara khusus.
Nabi shallallahu alaihi Wasallam Bersabda kepada
khalid bin Walid pada hadits Abu Said Al khudri :
يا خالد، لا تسبّوا أصحابي، فو الذي نفسي بيده، لو انفقَ
مثل أحد ذهبا ما بلغ مدّ أحدهم ولا نصيفه
Wahai Khalid, jangan engkau cela sahabatku, demi yang
jiwaku berada ditanganNya, Jika seseorang menginfakkan emas segunung Uhud,
niscaya belum menyamai ukuran mud mereka bahkan tidak menyamai setengahnya.[3]
Sesungguhnya Abdurrahman bin Auf[4] dan yang semisal dengan beliau
termasuk orang yang lebih dahulu menginfakkan hartanya untuk berperang dijalan
Allah sebelum “Penaklukan”. Berbeda dengan kholid dan lainnya yang masuk
Islam setelah “Penaklukan” dan menginfakkan hartanya serta berperang dijalan
Allah belakangan.
Allah berfirman
لَا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ
الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُولَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ
بَعْدُ وَقَاتَلُوا وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ
Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan
(hartanya) dan berperang sebelum penaklukan. Mereka lebih tingi derajatnya
daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu.
Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik (Qs Al
Hadid:10)
Yang dimaksud dengan Penaklukan adalah penaklukan
Hudaibiyah, yaitu ketika Rasulullah membai’at shahabat-shahbatnya dibawah sebuah
pohon, ketika yang berbaiat dengan Beliau sejumlah 1400 orang lebih, merekalah
yang telah menaklukkan khaibar. Rasulullah bersabda:
لا يدخل النار أحد بايع تحت الشجرة
Penaklukkan yang digambarkan dalam ayat yang
diturunkan Allah tersebut adalah sebelum Fathul Makkah, bahkan sebelum Nabi
Shallallahu Alaihi Wasallam menunaikan Umrah. Beliau membaiat
shahabat-shahabatnya dibawah sebuah pohon ketika peristiwa Hudaibiyah pada
tahun keenam Hijriah dan berdamai dengan orang Musyrik pada yang terkenal
dengan nama perjanjian Hudaibiyah.
Perjanjian tersebut menghasilkan Penaklukkan yang
sebelumnya tidak diketahui oleh siapapun kecuali Allah, Padahal Perjanjian
tersebut dibenci oleh sebagian kaum Muslimin, hal itu karena mereka tidak
mengetahui akhir yang baik dalam perjanjian tersebut. Sampai-sampai Sahl bin
Hunaif berkata: “Kalaulah aku bisa Membantah Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam niscaya aku akan membantahnya. Diriwayatkan Oleh Al Bukhari dan
laiinnya.[6]
Setahun setelahnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam
memasuki Kota Mekkah dalam Keadaan berumrah. Ketika itu penduduk Mekkah masih
Musyrik, baru pada tahun kedelapan Hijriah pada bulan Ramadhan Mekkah
ditaklukan.
Allah Menurunkan ayat pada Surat Al Fath:
لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ
اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لا تَخَافُونَ فَعَلِمَ
مَا لَمْ تَعْلَمُوا فَجَعَلَ مِنْ دُونِ ذَلِكَ فَتْحًا قَرِيبًا
Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidilharam,
insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan
mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang
tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat. (Al
Fath:27)
Allah menjanjikan mereka didalam surat Alfath untuk
memasuki Mekkah dalam Keadaan aman dan memenuhi Janji tersebut pada tahun
kedua. Tentang hal Itu Allah berfirman:
الشَّهْرُ الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ الْحَرَامِ
وَالْحُرُمَاتُ قِصَاصٌ
Bulan haram dengan bulan haram dan pada sesuatu
yang patut dihormati[berlaku hukum qishaash (Al Baqarah:194)
Seluruh Peristiwa itu terjadi sebelum Fathul Makkah,
siapaun yang menyangka bahwa Surat Al Fath turun setelah Fathul Makkah maka ia
jelas Salah.
Kesimpulannya adalah mereka yang menyertai nabi
sebelum Penaklukkan memiliki Kekhususan dalam Keutamaan dibandingkan yang
menyertai Nabi setelah peristiwa tersebut. Oleh karena itu dikatakan kepada
Kholid, “jangan engkau cela Sahabatku”, karena mereka menyertai Rasulullah
lebih dahulu dari kholid dan yang semisalnya.
Secara khusus Abu Bakar memiliki keistimewaan yang
membedakannya dengan seluruh sahabat karena Rasulluah mengkhususkan beliau pada
sebuah hadits Sohih yang Diriwayatkan Oleh al Bukhari dari Abu Darda:
Ada perselisihan antara Umar dan Abu Bakar, Maka Abu
bakar meminta maaf kepadanya,namun Umar menolak. Kemudian Abu Bakar menghadap
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan menceritakan kejadian tersebut, Kemudian
Umar menyesal lalu berangkat mencari Abu Bakar dirumahnya, kemudian ia
menceritakan bahwasanya ia baru saja menghadap nabi shallallahu Alaihi
Wasallam, Ketika Umar datang maka nabi mulai marah untuk Membela Abu Bakar lalu
bersabda: Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku datang kepada kalian lalu
kalian berkata: “ engkau berdusta”, sedangkan Abu Bakar mengatakan: “engkau
benar”. Lalu apakah kalian hendak meninggalkan sahabatku itu?!, Lalu
apakah kalian hendak meninggalkan sahabatku itu?!”, Setelah itu Abu
Bakar tidak pernah disakiti lagi.[7]
Hadits ini mengkhususkan sebutan Sahabat kepada Abu
Bakar sebagai Alqur’an juga mengkhususkan sebutan tersebut. Allah berfirman:
ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ
لِصَاحِبِهِ لا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا
ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata
kepada Shahabatnya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah
beserta kita” (At Taubah ayat 40)
Dalam Riwayat Bukhari Muslim dari Abu Said disebutkan
:
Seorang hamba diberi pilihan oleh Allah SWT antara
dunia atau akherat,maka dan diapun memilih apa yang berada disi Allah “. Abu
bakar As-Shiddiq-pun menangis, dan berkata: “Wahai Rasulullah SAW! kami rela
mengorbankan jiwa dan harta kami demi engkau!. Abu sa’id berkata: “Maka
manusiapun heran karena Rasulullah menyebutkan seorang hamba yang diberi
pilihan antara dunia atau akhirat. Sedangkan Rasulullah adalah orang yang telah
terpilih dan Abu Bakar adalah orang yang paling memahami perkatan Rasulullah
Kemudian Rasulullah bersabda: Sesungguhnya orang
yang paling terpercaya pada persahabatan dan pertolongannya adalah Abu Bakar,
Seandainya aku bisa memilih seorang kekasih dari penduduk bumi, niscaya aku
akan memilih Abu Bakar , tapi dia adalah saudara dan sahabatku, tutuplah semua
pintu dimasjid kecuali pintu Abu Bakar[8]
Inilah hadits tershohih berdasarkan kesepakatan para
ulama yang paling tahu tentang perkataan, perbuatan, dan keadaan Nabi
Shallallahu Alaihi Wasallam.
Kesimpulannya, Sahabat itu ada yang khos dan ada yang
‘Am. Shahabat ‘Am adalah orang yang menjumpai nabi Shallallahu Alaihi Wasallam
dan beriman kepadanya, oleh karena itu ada ungkapan menyertai Rasulullah selama
setahun, sebula, atau sesaat, dan lain-lain.
[1] Hadits riwayat Bukhari dalam Kitab
Syahadah (2651) dan Hadits Riwayat Muslim dalam Kitab Fadhailus Shahabah
(214/2535)
[2] Hadits riwayat bukhari dalam Kitab
Jihad (2898) dan Riwayat Muslim dalam ktab Fadhailus Sahabah (208/2535)
[3] Hadits riwayat Bukhari dalam kitab
Fadhailus Shahabah (3673) dan Muslim dalam Kitab Fadhailus Shahabah (222/2541).
Dalam hadits ini Khalid bin Walid ditegur oleh
Rasulullah karena mencela salah seorang Sahabat، Beliau mengatakan
“jangan cela sahabatku”, padahal Khalid termasuk sahabat. Dari sini diketahui
bahwa Khalid ditegur karena mencela sahabat khos nabi,pent
[4] Asbabul wurud hadits larangan
mencela nabi adalah karena adanya perselisihan antara Abdurrahman bin Auf dan
Khalid bin Walid mengenai suatu masalah dan didalam kisah tersebut ada lontaran
celaan dari Khalid bin Walid kepada Abdurrahman bin Auf, pent
[5] Hadits riwayat Muslim dalam
Fadhailus Shahabah (163/2496)
[6] Hadist riwayat Bukhari dalam Kitab
Jizyah (3181)
[7] Hadits Riwayat Bukhari dalam kitab
Fadhailus Shahabah (3661)
[8] Hadist riwayat Bukhari dalam Kitab
Manaqibil Anshar (3904) dan Muslim dalam kitab fadhailus Shahabah (2/2382)
Sumber: Majmu Fatawa jilid 35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar