Selasa, 05 November 2013

TAQDIR, QADHA DAN QADAR


“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (QS Ar Ra’du: 11)



Iman kepada taqdir merupakan sesuatu yang wajib bagi setiap muslim. Sebab, hal ini memiliki sandaran nash-nash Al Qur'an yang pasti (qoth’i) serta dijelaskan oleh Rosulullah SAW dalam sunahnya. Berbeda dengan iman kepada ‘Qadha dan Qadar’, ia bukan lahir dari nash-nash syara’ secara langsung. Istilah Qadha dan Qadar, --sebagai istilah tertentu yang bermakna tertentu pula--, tidak didapatkan dalam Al Qur'an maupun As Sunnah. Jika kita kaji dari buku-buku hadits, kita tidak akan menemukan masalah ini (qodha dan qadar). Kita hanya menemukan pembahasan taqdir (atau al qadar yang bermakna taqdir). Misalnya dalam Shahih Bukhari hadits no. 6594-6620 dan Shahih Muslim no. 2634-2664; yang merupakan bab khusus tentang masalah taqdir. Di dalam Al Qur'an sendiri tidak ada istilah ‘qadha dan qadar’ yang digabungkan. Keduanya hanya ditemukan secara terpisah (lihat indeks Al Qur'an, Muh. Fuad Abdul Baqi, hal. 536-537 tentang al qadar, dan hal 546-547 tentang qadha).

Tidak adanya istilah qadha dan qadar (yang digabungkan, dan memiliki makna tertentu) tersebut, karena memang masalah ini baru muncul pada masa tabi’in (setelah masa shahabat), pada akhir abad pertama Hijriyah (awal abad kedua Hijriyah).