“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum
sehingga kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (QS Ar
Ra’du: 11)
Iman kepada taqdir merupakan sesuatu yang wajib bagi setiap
muslim. Sebab, hal ini memiliki sandaran nash-nash Al Qur'an yang pasti
(qoth’i) serta dijelaskan oleh Rosulullah SAW dalam sunahnya. Berbeda dengan
iman kepada ‘Qadha dan Qadar’, ia bukan lahir dari nash-nash syara’ secara
langsung. Istilah Qadha dan Qadar, --sebagai istilah tertentu yang bermakna
tertentu pula--, tidak didapatkan dalam Al Qur'an maupun As Sunnah. Jika kita
kaji dari buku-buku hadits, kita tidak akan menemukan masalah ini (qodha dan
qadar). Kita hanya menemukan pembahasan taqdir (atau al qadar yang bermakna
taqdir). Misalnya dalam Shahih Bukhari hadits no. 6594-6620 dan Shahih Muslim
no. 2634-2664; yang merupakan bab khusus tentang masalah taqdir. Di dalam Al
Qur'an sendiri tidak ada istilah ‘qadha dan qadar’ yang digabungkan. Keduanya
hanya ditemukan secara terpisah (lihat indeks Al Qur'an, Muh. Fuad Abdul Baqi,
hal. 536-537 tentang al qadar, dan hal 546-547 tentang qadha).
Tidak adanya istilah qadha dan qadar (yang digabungkan, dan
memiliki makna tertentu) tersebut, karena memang masalah ini baru muncul pada
masa tabi’in (setelah masa shahabat), pada akhir abad pertama Hijriyah (awal
abad kedua Hijriyah).