BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Perkembangan zaman tidak dapat kita hindari.
Dewasa ini muncul banyak persoalan yang masih belum diketahui hukumnya. karena
dalam Al-Quran tidak di jelaskan secara eksplisit. Untuk itulah ulama Fiqh
melakukan ijtihad untuk menggali hukum dari dalil Al-qur’an dan hadis untuk menjawab persoalan-persoalan yang belum
jelas.
Peranan ijtihad ini yang sangat penting untuk
menjawab tantangan perkembangan zaman. Sehingga akan dapat membuktikan
pernyataan bahwa Al-Quran sebagai Rahmatal lil-Alamin yang berlaku sepnjang
masa.
Dari realita inilah kami akan mencoba membahas
tentang ijtihad dan peranannya dalam menggali hukum islam.
B.Rumusan
Masalah
1.
Apa definisi dari Ijtihad ?
2.
Apa Syarat-syarat Mujtahid dan
tingkatan-tingkatan mujtahid?
3.
Bagaimana Peranan Ijtihad dalam menggali hukum
Islam?
C.Tujuan
1.
Untuk memahami definisi Ijtihad.
2.
Untuk mengetahui syarat-syarat mujtahid dan tingkatan-tingkatan
mujtahid.
3.
Untuk memahami peranan Ijtihad dalam menggali
hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ijtihad
Secara etimologi ijtihad diambil dari kata
al-jahd/al-juhd yang berarti kesulitan dan kesusahan. sebagaimana firman Allah
:
والذين لم يجدون الا جهدهم..............(التوبة:79(
kata al-jahd menunjukkan pekerjaan yang di
lakukan lebih dari biasa dan sulit untuk di laksanakan atau disenangi dalam
pengertian ini nabi mengungkapkan kata-kata:
صلوا علي واجتهدوا فى الدعاء
''Bacalah solawat kepadaku dan bersungguh-sungguh-lah dalam
berdo'a.[1]
Berdasarkan peninjauan dari sudut etimologi
ini, Selanjutnya Al-Gozali merumuskan pengertian ijtihad dalam arti bahasa
sebagai “pencurahan segala daya upaya dan penumpahan segala kekuatan untuk
menghasilkan sesuatu yang berat atau sulit”.[2]
Dan
dari pengertian semacam ini, Muhammad Iqbal, di waktu membicarakan prinsip
gerak dalam struktur islam, mengidentikkan ijtihad dengan mujahadah. Seperti
yang terdapat dalam surat al-Ankabut ayat 69 yang berbunyi :
والذين
جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا وان الله لمع المحسنين.
Artinya :
“Dan orang-orang yang berusaha sungguh-sungguh
untuk mencari keridhaan kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik.[3]
Dan di
sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka
memberikan batasan bahwa ijtihad adalah "penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang
terdekat pada Kitab-u 'l-Lah dan Sunnah
Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash yang
terkenal dengan qiyas (ma'qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh
dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari'ah- yang
terkenal dengan "mashlahat".
Dalam kaitan pengertan
ijtihad menurut istilah,
ada dua kelompok ahli
ushul fiqh (ushuliyyin) kelompok
mayoritas dan kelompok minoritas yang mengemukakan rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian
ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.
Menurut mereka, ijtihad
adalah pengerahan segenap kesanggupan dari
seorang ahli fqih
atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu
hukum syara' (hukum Islam).
Dari definisi tersebut
dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1.
Pelaku ijtihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan
yang lain.
2.
Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar'i, yaitu hukum
Islam yang berhubungan dengan
tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i'tiqadi atau hukum
khuluqi,
3.
Status hukum syar'i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.
B.
Syarat-Syarat Mujtahid dan Tingkatan-Tingkatan Ijtihad
Seseorang yang ingin mendudukkan
dirinya sebagai mujtahid harus memenuhi
beberapa persyaratan. Di
antara sekian persyaratan itu
yang terpenting ialah:
1.
Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur'an
yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan pengertian ia mampu membahas
ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum.
2.
Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadis Rasul yang
berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia sanggup untuk membahas
hadits-hadits tersebut untuk menggali hukum.
3.
Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh
ijma' agar ia tidak berijtihad yang hasilnya bertentangan dengan ijma'.
4.
Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat
mempergunakannya untuk menggali hukum.
5.
Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an dan Sunnah
sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam bahasa Arab yang sangat tinggi
gaya bahasanya dan cukup unik dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an.
6.
Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam al-Qur'an
dan Hadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi
yang telah dinasakh (mansukh) untuk menggali hukum.
7.
Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab-u'l-nuzul) dan latar
belakang suatu Hadits (asbab-u'l-wurud), agar ia mampu melakukan istinbath
hukum secara tepat.
8.
Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia dapat menilai
sesuatu Hadist, apakah Hadits itu dapat diterima ataukah tidak. Sebab untuk
menentukan derajad/nilai suatu Hadits sangat tergantung dengan ihwal perawi
yang lazim disebut dengan istilah sanad Hadits. Tanpa mengetahui sejarah perawi
Hadits, tidak mungkin kita akan melakukan ta'dil tajrih (screening).
9.
Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan deduksi
yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan hukum dan sanggup mempertahankannya.
10. Menguasai kaidah-kaidah istinbath
hukum/ushul fiqh, agar dengan kaidah-kaidah ini ia mampu mengolah dan
menganalisa dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu permasalahan yang
akan diketahuinya.[4]
Abu Zahrah membagi mujtahid kepada beberapa tingkat, yaitu mujtahid
mustaqil, mujtahid muntasib, mujtahid fi al-mazhab, dan mujtahid fi t-tajrih.[5]
1.
Ijtihad Muthlaq/Mustaqil, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara
menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah istinbath yang dipergunakan sebagai
sistem/metode bagi seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma-norma dan
kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandang perlu. Mujtahid dari
tingkatan ini contohnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam
Ahmad yang terkenal dengan sebutan Mazhab Empat.
2.
Ijtihad Muntasib, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid
dengan mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah istinbath imamnya (mujtahid
muthlaq/Mustaqil). Jadi untuk menggali hukum dari sumbernya, mereka memakai
sistem atau metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan sendiri.
Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud dari norma-norma dan
kaidah-kaidah tersebut. Contohnya, dari mazhab Syafi'i seperti Muzany dan
Buwaithy. Dari madzhab Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf.
Sebagian ulama menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok pertama/mujtahid
muthalaq/mustaqil.
3.
Ijtihad fi al-mazhab atau fatwa yang pelakunya disebut mujtahid
mazhab/fatwa, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam lingkungan
madzhab tertentu. Pada prinsipnya mereka mengikuti norma-norma/kaidah-kaidah
istinbath imamnya, demikian juga mengenai hukum furu'/fiqih yang telah
dihasilkan imamnya. Ijtihad mereka hanya berkisar pada masalah-masalah yang
memang belum diijtihadi imamnya, men-takhrij-kan pendapat imamnya dan
menyeleksi beberapa pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang shahih dan
mana yang lemah. Contohnya seperti Imam Ghazali dan Juwaini dari madzhab
Syafi'i.
4.
Ijtihad fi at-tarjih, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara
mentarjih dari beberapa pendapat yang ada baik dalam satu lingkungan madzhab
tertentu maupun dari berbagai mazhab yang ada dengan memilih mana diantara
pendapat itu yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai dengan
kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam mazhab Syafi'i, hal itu bisa
kita lihat pada Imam Nawawi dan Imam Rafi'i. Sebagian ulama mengatakan bahwa
antara kelompok ketiga dan keempat ini sedikit sekali perbedaannya; sehingga
sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu mereka menjadikannya satu
tingkatan.
C.
Peranan Ijtihad
Berdasarkan
pengertian ijtihad itu sendiri kita sudah bisa menerka maksud dari ijtihad itu.
Di atas telah dijelaskan bahwa ijtihad itu digunakan pada suatu hukum/ dalil
yang belum jelas. Oleh karena itu Ijtihad mempunyai peranan yang penting dalam
kaitannya pengembangan hukum Islam. Sebab, dalam kenyataannya di dalam
Al-Qur’an terdapat ayat-ayat Muhkamat (jelas kandungannya) dan ada yang
Mutasyabihat (memerlukan penafsiran (belum terang).
Dari
sinilah, sehingga ajaran Islam selalu menganjurkan agar manusia menggunakan
akalnya. Apalagi agama Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (Rahmat bagi seluru
alam) membuat kesediaannya dalam menerima perkembangan yang dialami umat
manusia. Sehingga secara pasti cocok dan tepat untuk diterapkan dalam setiap
waktu dan tempat. Maka peranan ijtihad semakin penting untuk membuktikan
keluasan dan keluwesan hukum Islam.
Menurut
imam syafi’i ra. (150-204) dalam kitabnya Ar-Risalah, menegaskan: “maka tidak
terjadi suatu peristiwa pun pada seseorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam
kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya”. Menurut beliau hukum-hukum
yang dikandung Al-Quran yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus
dagali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya Allah mewajibkan
hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu.
Selanjutnya beliau mengatakan bahwa Allah menguji ketaatan seseorang untuk
melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah mrnguji ketaatan hambanya dalam
hal-hal yang diwajibkan lainnya.
Pernyataan
imam syafi’i di atas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad
disamping Al-Quran dan hadis. Ijtihad juga berperan dalam menguji kebenaran
riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir, seperti hadis ahad,
atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas
pengertiannya sehingga tidak langsung
dapat dipahami kecuali dengan ijtihad. Dan juga berperan dalam mengembangkan
prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah seperti dengan
qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah. Hal yang disebut terakhir ini,
yaitu pengembangan prinsip-prinsip hukum
dalam Al-Qur’an dan Sunnah adalah penting, karena dengan itu ayat-ayat dan hadis-hadis
hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan
yang tidak terbatas jumlahnya.
Ijtihad adalah nafasnya hukum Islam.
Oleh karena itu, jika kegiatan ijtihad ini terhenti, maka hukum Islam pun
terhenti perkembangannya, sebaliknya jika kegiatan ijtihad itu terlalu dinamis,
produk-produk hukumnya akan akan jauh lebih maju dari dinamika masyarakat.
Ada dua penyebab utama yang menuntut
pembahasan hukum lewat kajian ijtihad, yaitu terdapatnya nash-nash yang zhanni,
baik di lihat dari sudut dilalahnya (nash-nash yang bermakna ganda) maupun dari
sudut wurudnya (hadits nabi yang tidak mutawatir). Dan kedua, berkembangnya
fenomena temporer yang senantiasa menuntut jawaban-jawaban yuridis dari para
mujtahid dalam hukum Islam.
Dari
penjelasan di atas Peranan Ijtihad secara garis besar adalah sebagai berikut :
1.
Dalam
menjelaskan/memahami Ayat-ayat mutasyabihat.
2.
Dalam memahami/menjelaskan
yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir.
3.
Untuk
menentukan hukum yang belum jelas/ hukum sesuatu yang baru yang belum
dijelaskan oleh Al-Quran secara eksplisit.
BAB
III
KESIMPULAN
Pengertian
ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas ijtihad adalah
pengerahan segenap kesanggupan dari
seorang ahli fqih
atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu
hukum syara' (hukum Islam).
Persyaratan yang terpenting untuk
menjadi seorang mujtahid adalah: Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang
ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis dan semua ilmu yang berhubungan dengan itu
terutama bahasa Arab. Abu Zahrah membagi
mujtahid kepada beberapa tingkat, yaitu mujtahid mustaqil, mujtahid muntasib,
mujtahid fi al-mazhab, dan mujtahid fi t-tajrih.
Secara
garis besar adalah sebagai berikut :
1.
Dalam
menjelaskan/memahami Ayat-ayat mutasyabihat.
2.
Dalam
memahami/menjelaskan yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir.
3.
Untuk
menentukan hukum yang belum jelas/ hukum sesuatu yang baru yang belum
dijelaskan oleh Al-Quran secara eksplisit.
DAFTAR
PUSTAKA
Efendi
Satria, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2009, Cet 3
Syafi'i Rahmad,ilmu
ushul fiqh (Bandung:pustaka setia, 2007)
Amruddin, Zen,
ushul fiqh, (Yogyakarta:Sukses offset, 2009)
Amiur
Nuruddin,Ijtihad ‘Umar bin Khattab,raja wali press (jakarta :1991)
PERANAN IJTIHAD DALAM MENGGALI
HUKUM ISLAM
MAKALAH
Diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah
“USHUL
FIQH ”
Dosen pembimbing : Drs.H.M. Sya’roni M.Ag
NIP.194508131967121001

Oleh
:
Mohammad
Amiruddin B52210031
Ni’matul
Firdausi B02210002
FAKULTAS DAKWAH
JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN
AMPEL SURABAYA
|
2011
|
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
taufiq serta hidayahnya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah Fiqh Muammalah
yang berjudul “PERANAN
IJTIHAD DALAM MENGGALI HUKUM ISLAM”.
Shalawat
serta salam semoga tetap tercurahkan kehadirat nabi Muhammad SAW beserta
keluarga, sahabat-sahabat, dan orong-orang yang mengikuti ajarannya.
Ucapan
terima kasih yang tiada henti kepada kedua orang tua yang telah bersusah payah
merawat, membesarkan, serta mendidik penulis mulai dalam kandungan hingga saat
ini.
Dalam
kesempatan ini penulis juga menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada
seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.
Penulis
menyadari adanya ketidaksempurnaan makalah ini. Karena kesempurnaan hanya milik
Allah. Untuk itu penulis berharap akan adanya kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk lebih baiknya makalah di masa mendatang. Dan akhirnya penulis
berharap agar makalah ini dapat berguna khususnya bagi penulis dan umumnya bagi
kita semua fiddini waddunya wal akhiroh. Amin
Surabaya, 26 April 2011
Penulis,
|
Daftar Isi
Kata
Pengantar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . ii
Daftar
Isi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. 1
B. Rumusan Masalah . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
C. Tujuan Masalah . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
Bab
II Pembahasan
A.
Pengertian Ijtihad . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
B.
Syarat-Syarat Mujtahid dan Tingkatan-Tingkatan Ijtihad. . . . . . . . . . . . . . . . .
. 3
C.
Peranan Ijtihad
. . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. 5
BAB III Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . 7
|
|
Daftar Pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
[1] Rahmad Syafi'i,ilmu
ushul fiqh hlm 97
[2] Al-Gozali,Al-Mustafa,juz
II,Mesir:Al-Mathba'ah al-Amiriyyah,1324 H,hlm.350.Bandingkan al-Amudi,Al-Ahkam
fi Ushul al-Ahkam,juz IV,Cairo:Dar al-ma'arif, 1914,hlm. 162. dikutip oleh
Amiur Nuruddin,ijtihad 'umar bin khattab Rajawali press (jakarta:1991)hlm
51-52
[3] Amiur
Nuruddin,Ijtihad ‘Umar bin Khattab,raja wali press (jakarta :1991)hlm
52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar