Selasa, 09 April 2013

IJTIHAD

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Perkembangan zaman tidak dapat kita hindari. Dewasa ini muncul banyak persoalan yang masih belum diketahui hukumnya. karena dalam Al-Quran tidak di jelaskan secara eksplisit. Untuk itulah ulama Fiqh melakukan ijtihad untuk menggali hukum dari dalil Al-qur’an dan hadis  untuk menjawab persoalan-persoalan yang belum jelas.
Peranan ijtihad ini yang sangat penting untuk menjawab tantangan perkembangan zaman. Sehingga akan dapat membuktikan pernyataan bahwa Al-Quran sebagai Rahmatal lil-Alamin yang berlaku sepnjang masa.
Dari realita inilah kami akan mencoba membahas tentang ijtihad dan peranannya dalam menggali hukum islam.

                                        
B.Rumusan Masalah
1.      Apa definisi dari Ijtihad ?
2.      Apa Syarat-syarat Mujtahid dan tingkatan-tingkatan mujtahid?
3.      Bagaimana Peranan Ijtihad dalam menggali hukum Islam?
C.Tujuan
1.      Untuk memahami definisi Ijtihad.
2.      Untuk mengetahui syarat-syarat mujtahid dan tingkatan-tingkatan mujtahid.
3.      Untuk memahami peranan Ijtihad dalam menggali hukum Islam.












BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ijtihad
Secara etimologi ijtihad diambil dari kata al-jahd/al-juhd yang berarti kesulitan dan kesusahan. sebagaimana firman Allah :
والذين لم يجدون الا جهدهم..............(التوبة:79(
kata al-jahd menunjukkan pekerjaan yang di lakukan lebih dari biasa dan sulit untuk di laksanakan atau disenangi dalam pengertian ini nabi mengungkapkan kata-kata:
صلوا علي واجتهدوا فى الدعاء  
''Bacalah solawat kepadaku dan bersungguh-sungguh-lah dalam berdo'a.[1]
Berdasarkan peninjauan dari sudut etimologi ini, Selanjutnya Al-Gozali merumuskan pengertian ijtihad dalam arti bahasa sebagai “pencurahan segala daya upaya dan penumpahan segala kekuatan untuk menghasilkan sesuatu yang berat atau sulit”.[2]
Dan dari pengertian semacam ini, Muhammad Iqbal, di waktu membicarakan prinsip gerak dalam struktur islam, mengidentikkan ijtihad dengan mujahadah. Seperti yang terdapat dalam surat al-Ankabut ayat 69 yang berbunyi :
والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا وان الله لمع المحسنين.
Artinya :
“Dan orang-orang yang berusaha sungguh-sungguh untuk mencari keridhaan kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.[3]
Dan  di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan  bahwa  ijtihad adalah  "penelitian  dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u 'l-Lah  dan  Sunnah  Rasul,  baik yang  terdekat itu diperoleh dari nash yang terkenal dengan qiyas (ma'qul nash), atau yang terdekat itu  diperoleh  dari maksud  dan  tujuan umum dari hikmah syari'ah- yang terkenal dengan "mashlahat".
Dalam kaitan pengertan  ijtihad  menurut  istilah,  ada  dua kelompok  ahli  ushul  fiqh (ushuliyyin) kelompok mayoritas dan kelompok minoritas yang mengemukakan rumusan  definisi. Dalam  tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.
Menurut   mereka,   ijtihad   adalah   pengerahan    segenap kesanggupan  dari  seorang  ahli  fqih  atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap  sesuatu  hukum syara' (hukum Islam).
Dari  definisi  tersebut  dapat  ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Pelaku ijtihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
2.      Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar'i, yaitu hukum Islam yang          berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i'tiqadi atau hukum khuluqi,
3.      Status hukum syar'i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah  dhanni.

B.     Syarat-Syarat Mujtahid dan Tingkatan-Tingkatan Ijtihad
Seseorang yang ingin mendudukkan  dirinya  sebagai  mujtahid harus   memenuhi  beberapa  persyaratan.  Di  antara  sekian persyaratan itu yang terpenting ialah:
1.      Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan pengertian ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum.
2.      Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadis Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia sanggup untuk membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali hukum.
3.      Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma' agar ia tidak berijtihad yang hasilnya bertentangan dengan ijma'.
4.      Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.
5.      Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam bahasa Arab yang sangat tinggi gaya bahasanya dan cukup unik dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an.
6.      Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam al-Qur'an dan Hadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi yang telah dinasakh (mansukh) untuk menggali hukum.
7.      Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab-u'l-nuzul) dan latar belakang suatu Hadits (asbab-u'l-wurud), agar ia mampu melakukan istinbath hukum secara tepat.
8.      Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia dapat menilai sesuatu Hadist, apakah Hadits itu dapat diterima ataukah tidak. Sebab untuk menentukan derajad/nilai suatu Hadits sangat tergantung dengan ihwal perawi yang lazim disebut dengan istilah sanad Hadits. Tanpa mengetahui sejarah perawi Hadits, tidak mungkin kita akan melakukan ta'dil tajrih (screening).
9.      Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan deduksi yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan hukum dan sanggup mempertahankannya.
10.  Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar dengan kaidah-kaidah ini ia mampu mengolah dan menganalisa dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu permasalahan yang akan diketahuinya.[4]

Abu Zahrah membagi mujtahid kepada beberapa tingkat, yaitu mujtahid mustaqil, mujtahid muntasib, mujtahid fi al-mazhab, dan mujtahid fi t-tajrih.[5]
1.      Ijtihad Muthlaq/Mustaqil, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah istinbath yang dipergunakan sebagai sistem/metode bagi seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma-norma dan kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandang perlu. Mujtahid dari tingkatan ini contohnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad yang terkenal dengan sebutan Mazhab Empat.
2.      Ijtihad Muntasib, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dengan mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah istinbath imamnya (mujtahid muthlaq/Mustaqil). Jadi untuk menggali hukum dari sumbernya, mereka memakai sistem atau metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan sendiri. Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud dari norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut. Contohnya, dari mazhab Syafi'i seperti Muzany dan Buwaithy. Dari madzhab Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf. Sebagian ulama menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok pertama/mujtahid muthalaq/mustaqil.
3.      Ijtihad fi al-mazhab atau fatwa yang pelakunya disebut mujtahid mazhab/fatwa, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam lingkungan madzhab tertentu. Pada prinsipnya mereka mengikuti norma-norma/kaidah-kaidah istinbath imamnya, demikian juga mengenai hukum furu'/fiqih yang telah dihasilkan imamnya. Ijtihad mereka hanya berkisar pada masalah-masalah yang memang belum diijtihadi imamnya, men-takhrij-kan pendapat imamnya dan menyeleksi beberapa pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang shahih dan mana yang lemah. Contohnya seperti Imam Ghazali dan Juwaini dari madzhab Syafi'i.
4.      Ijtihad fi at-tarjih, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara mentarjih dari beberapa pendapat yang ada baik dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari berbagai mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai dengan kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam mazhab Syafi'i, hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan Imam Rafi'i. Sebagian ulama mengatakan bahwa antara kelompok ketiga dan keempat ini sedikit sekali perbedaannya; sehingga sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu mereka menjadikannya satu tingkatan.

C.    Peranan Ijtihad
Berdasarkan pengertian ijtihad itu sendiri kita sudah bisa menerka maksud dari ijtihad itu. Di atas telah dijelaskan bahwa ijtihad itu digunakan pada suatu hukum/ dalil yang belum jelas. Oleh karena itu Ijtihad mempunyai peranan yang penting dalam kaitannya pengembangan hukum Islam. Sebab, dalam kenyataannya di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat Muhkamat (jelas kandungannya) dan ada yang Mutasyabihat (memerlukan penafsiran (belum terang).
Dari sinilah, sehingga ajaran Islam selalu menganjurkan agar manusia menggunakan akalnya. Apalagi agama Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (Rahmat bagi seluru alam) membuat kesediaannya dalam menerima perkembangan yang dialami umat manusia. Sehingga secara pasti cocok dan tepat untuk diterapkan dalam setiap waktu dan tempat. Maka peranan ijtihad semakin penting untuk membuktikan keluasan dan keluwesan hukum Islam.
Menurut imam syafi’i ra. (150-204) dalam kitabnya Ar-Risalah, menegaskan: “maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seseorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya”. Menurut beliau hukum-hukum yang dikandung Al-Quran yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus dagali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya Allah mewajibkan hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa Allah menguji ketaatan seseorang untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah mrnguji ketaatan hambanya dalam hal-hal yang diwajibkan lainnya.
Pernyataan imam syafi’i di atas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad disamping Al-Quran dan hadis. Ijtihad juga berperan dalam menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir, seperti hadis ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya  sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad. Dan juga berperan dalam mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah seperti dengan qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah. Hal yang disebut terakhir ini, yaitu  pengembangan prinsip-prinsip hukum dalam Al-Qur’an dan Sunnah adalah penting, karena dengan itu ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.
Ijtihad adalah nafasnya hukum Islam. Oleh karena itu, jika kegiatan ijtihad ini terhenti, maka hukum Islam pun terhenti perkembangannya, sebaliknya jika kegiatan ijtihad itu terlalu dinamis, produk-produk hukumnya akan akan jauh lebih maju dari dinamika masyarakat.
Ada dua penyebab utama yang menuntut pembahasan hukum lewat kajian ijtihad, yaitu terdapatnya nash-nash yang zhanni, baik di lihat dari sudut dilalahnya (nash-nash yang bermakna ganda) maupun dari sudut wurudnya (hadits nabi yang tidak mutawatir). Dan kedua, berkembangnya fenomena temporer yang senantiasa menuntut jawaban-jawaban yuridis dari para mujtahid dalam hukum Islam.  
Dari penjelasan di atas Peranan Ijtihad secara garis besar  adalah sebagai berikut :
1.      Dalam menjelaskan/memahami Ayat-ayat mutasyabihat. 
2.      Dalam memahami/menjelaskan yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir.
3.      Untuk menentukan hukum yang belum jelas/ hukum sesuatu yang baru yang belum dijelaskan oleh Al-Quran secara eksplisit.


BAB III
KESIMPULAN

Pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas ijtihad   adalah   pengerahan    segenap kesanggupan  dari  seorang  ahli  fqih  atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap  sesuatu  hukum syara' (hukum Islam).
Persyaratan yang terpenting untuk menjadi seorang mujtahid adalah: Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis dan semua ilmu yang berhubungan dengan itu terutama  bahasa Arab. Abu Zahrah membagi mujtahid kepada beberapa tingkat, yaitu mujtahid mustaqil, mujtahid muntasib, mujtahid fi al-mazhab, dan mujtahid fi t-tajrih.
Secara  garis besar  adalah sebagai berikut :
1.      Dalam menjelaskan/memahami Ayat-ayat mutasyabihat. 
2.      Dalam memahami/menjelaskan yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir.
3.      Untuk menentukan hukum yang belum jelas/ hukum sesuatu yang baru yang belum dijelaskan oleh Al-Quran secara eksplisit.
















DAFTAR PUSTAKA

Efendi Satria, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2009, Cet 3
Syafi'i Rahmad,ilmu ushul fiqh (Bandung:pustaka setia, 2007)
Amruddin, Zen, ushul fiqh, (Yogyakarta:Sukses offset, 2009)
Amiur Nuruddin,Ijtihad ‘Umar bin Khattab,raja wali press (jakarta :1991)


























PERANAN IJTIHAD DALAM MENGGALI
HUKUM ISLAM

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“USHUL FIQH ”
Dosen pembimbing :    Drs.H.M. Sya’roni M.Ag
   NIP.194508131967121001
IAIN logo

Oleh :
Mohammad Amiruddin                       B52210031
Ni’matul Firdausi                     B02210002
                                   

FAKULTAS DAKWAH
JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

 
2011

 
KATA PENGANTAR
               
                Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq serta hidayahnya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah Fiqh Muammalah yang berjudul “PERANAN IJTIHAD DALAM MENGGALI HUKUM ISLAM”.
            Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kehadirat nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat-sahabat, dan orong-orang yang mengikuti ajarannya.
            Ucapan terima kasih yang tiada henti kepada kedua orang tua yang telah bersusah payah merawat, membesarkan, serta mendidik penulis mulai dalam kandungan hingga saat ini.
            Dalam kesempatan ini penulis juga menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.
            Penulis menyadari adanya ketidaksempurnaan makalah ini. Karena kesempurnaan hanya milik Allah. Untuk itu penulis berharap akan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk lebih baiknya makalah di masa mendatang. Dan akhirnya penulis berharap agar makalah ini dapat berguna khususnya bagi penulis dan umumnya bagi kita semua fiddini waddunya wal akhiroh. Amin

   Surabaya, 26 April 2011


     Penulis,




 ii
 
 



Daftar Isi
Kata Pengantar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .                        ii
Daftar Isi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .             iii
Bab I Pendahuluan
A.      Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .                      1
B.      Rumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .                      1
C.      Tujuan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .                      1
Bab II Pembahasan
A.    Pengertian Ijtihad . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .                     2
B.     Syarat-Syarat Mujtahid dan Tingkatan-Tingkatan Ijtihad. . . . . . . . . . . . . . . . . .                3                                    
C.     Peranan Ijtihad . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .                5
BAB III Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .                       7
 iii
 
 iii
 
Daftar Pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .                      8



[1]    Rahmad Syafi'i,ilmu ushul fiqh hlm 97
[2]    Al-Gozali,Al-Mustafa,juz II,Mesir:Al-Mathba'ah al-Amiriyyah,1324 H,hlm.350.Bandingkan al-Amudi,Al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam,juz IV,Cairo:Dar al-ma'arif, 1914,hlm. 162. dikutip oleh Amiur Nuruddin,ijtihad 'umar bin khattab Rajawali press (jakarta:1991)hlm 51-52
[3]    Amiur Nuruddin,Ijtihad ‘Umar bin Khattab,raja wali press (jakarta :1991)hlm 52
[5] Efendi Satria, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2009, Cet 3, hal.256

Tidak ada komentar:

Posting Komentar