Indonesia Adalah Negara Agamis:
Merumuskan
Relasi Agama dan Negara
dalam Perspektif
Pancasila·
Oleh
Lukman
Hakim Saifuddin
Ketua
Fraksi PPP DPR RI
I. Pendahuluan
Relasi
agama dan negara sebagaimana dialami Indonesia selalu mengalami pasang surut.
Suatu ketika hubungan di antara keduanya berlangsung harmonis sebagaimana
terjadi belakangan ini, namun di saat yang lain mengalami ketegangan
sebagaimana tercermin dari pemberontakan atas nama agama di tahun 1950-1960. Maklumlah,
relasi antar keduanya tidak berdiri sendiri, melainkan juga dipengaruhi
persoalan politik, ekonomi, dan budaya.
Dari
sisi Islam menurut Katerina Dalacaoura relasi agama (Islam) dan politik
(negara) tidak dapat dipisahkan. Dalacaoura menyebutkan dalam bukunya Islam Liberalism
& Human Rights bahwa; religion and politics are one.[1]
Jika memperhatikan sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW, maka tidak dapat
dipungkiri jalinan (relasi agama dan politik/negara) tersebut terjadi.[2] Bahkan Piagam Madinah oleh beberapa
ahli dianggap merupakan sebuah konstitusi dikarenakan di dalamnya memuat kontrak
di antara kelompok-kelompok masyarakat di Madinah yang berisi pokok-pokok
pedoman kenegaraan dan pemerintahan. Piagam Madinah sering disebut sebagai
Konstitusi Madinah, seperti dirumuskan oleh salah seorang ahli terkemuka
tentang Islam dari Barat, Montgomery Watt yang menyebut Piagam Madinah sebagai The Constitution of Medina.[3]
Hal yang
sama sesungguhnya terjadi pada negara-negara Barat. Amerika Serikat yang
menyatakan memiliki konsep separation of church and state saja
sesungguhnya tidak sepenuhnya dapat mengabaikan keberadaan agama. Dalam konteks
Amerika pemisahan agama dan negara tersebut berarti menjauhkan campur tangan
negara atas prinsip-prinsip hukum agama tetapi tidak memberikan dinding pemisah
(wall) terhadap masuknya prinsip-prinsip agama ke dalam jalannya
pemerintahan bernegara. Bahkan menurut
David A.J. Richards dalam Foundations of American Constitutionalis
dinyatakan bahwa bapak pendiri bangsa Amerika meyakini peran agama bagi
Amerika. Sebagaimana dipaparkan oleh Jhon Adam pada tahun 1765 yang
memperlihatkan relasi antara agama dan negara.[4]